JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan diajukan oleh dua orang warga yaitu Syamsul Bachri Marasabessy dan Yoyo Effendi.
“Amar Putusan, mengadili, dalam Provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat memimpin jalannya sidang pengucapan Putusan Nomor 47/PUU-XVII/2019 yang digelar pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon adalah warga yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu Tahun 2019 dan telah memberikan suaranya kepada salah satu dari 9 partai politik (parpol) peserta pemilu yang memenuhi ketentuan parliamentary threshold di wilayah Kota Depok, Daerah Pemilihan (dapil) 6 Jawa Barat. Para Pemohon mempersoalkan metode penentuan perolehan kursi yang diatur dalam Pasal 419 dan Pasal 420 UU Pemilu yang menggunakan mekanisme Sainte Lague.
Menurut para Pemohon, berdasarkan data hasil Pemilu 2019 dari jumlah suara sah seluruh parpol peserta pemilu yang memenuhi ketentuan parliamentary threshold secara nasional tidak seluruhnya dikonversi menjadi kursi karena terdapat 16.349.823 suara sah atau sekitar 12,93% suara yang tidak dikonversi menjadi kursi akibat perlakuan diskriminatif penyelenggara pemilu.
Penggunaan metode Sainte Lague dalam proses konversi suara menjadi kursi dan pembagiannya, menurut para Pemohon, telah menimbulkan ketidakadilan di antara partai politik. Ketidakadilan tersebut tercermin dari tidak proporsionalnya antara jumlah suara yang diperoleh parpol dengan jumlah kursi yang diperolehnya. Pada satu pihak ada parpol yang diuntungkan sementara di pihak lain ada parpol yang dirugikan. Parpol yang diuntungkan adalah partai politik yang memperoleh suara lebih sedikit tetapi memperoleh kursi lebih banyak. Sedangkan parpol yang dirugikan adalah yang memperoleh suara lebih banyak tetapi mendapatkan kursi lebih sedikit.
Para Pemohon juga memohon putusan provisi yaitu memohon agar Mahkamah memprioritaskan pemeriksaan, menerima, dan mengabulkan permohonan a quo sebelum hari dan tanggal pelantikan anggota legislatif hasil Pemilu Tahun 2019. Hal ini dimaksudkan para Pemohon agar penyelenggara pemilu memiliki kesempatan untuk memperbaiki keputusannya tentang penetapan perolehan kursi hasil Pemilu Legislatif 2019 yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini.
Terhadap permohonan provisi tersebut, setelah Mahkamah mencermati ternyata para Pemohon mengajukan permohonan pada 30 Juli 2019 yaitu setelah pengumuman hasil penghitungan suara dan telah memasuki tahapan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi. Maka sangatlah tidak mungkin permohonan para Pemohon untuk diputus sebelum hari pelantikan anggota legislatif hasil Pemilu 2019. “Dengan demikian permohonan provisi yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan permohonan provisi para Pemohon.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan proses penyusunan dapil didasarkan pada data kependudukan yang telah dimuktahirkan dan data wilayah. Untuk dapil anggota DPR ditentukan adalah provinsi/kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota. Apabila penentuan ini tidak dapat diberlakukan maka penentuan daerah pemilihan menggunakan bagian kabupaten/kota. Adapun, dapil anggota DPRD Provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Sementara itu, untuk dapil anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (1) dan Pasal 192 ayat (1) UU Pemilu. Untuk setiap dapil pun telah ditentukan jumlah kursi masing-masing jenis pemilihan.
“Secara konstitusional, UUD 1945 tidak menentukan model pilihan sistem pemilu. Demikian pula, UUD 1945 pun tidak menentukan model sistem yang akan digunakan untuk menentukan harga sebuah kursi dalam suatu daerah pemilihan apakah akan menggunakan sistem Sainte Lague sebagaimana yang saat ini digunakan oleh UU Pemilu atau sistem Hare Quote atau sistem yang lain. Penentuan terhadap sistem yang akan digunakan merupakan ranah pengaturan undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945,” lanjut Enny membacakan poin pertimbangan hukum Mahkamah.
Menurut Mahkamah, tidak terdapat ketentuan yang dapat ditafsirkan memperlakukan berbeda di antara peserta pemilihan umum dan antara para pemilih yang berhak memberikan suara. Dengan kata lain, ketentuan tersebut berlaku sama terhadap seluruh parpol peserta pemilu tanpa melihat apakah partai politik besar atau kecil ataukah partai politik baru atau lama.
“Tidak ada ketentuan dalam norma a quo yang menyebabkan para Pemohon terhalangi haknya untuk memberikan suara dan tidak ada pula aturan yang memberikan perlakuan berbeda yang menyebabkan para Pemohon kehilangan haknya,” terang Enny dalam pertimbangan hukum.
Mahkamah berpendapat, sepanjang tidak ada prinsip konstitusional yang dilanggar maka sistem yang ditentukan dalam UU Pemilu, tidak dapat dikatakan bertentangan dengan UUD 1945. “Oleh karena itu, dalil Pemohon mengenai Pasal 419 dan Pasal 420 sepanjang frasa “daerah pemilihan” UU 7/2017 bertentangan dengan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Enny. (NRA)