JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan diajukan oleh Alamsyah Panggabean tidak dapat diterima.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangannya, setelah Mahkamah membaca dengan saksama penempatan norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu tersebut, Mahkamah tidak bisa memahami mengapa Pemohon menggunakan norma Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan sebagai dasar pengujian. Kesulitan Mahkamah tersebut tidak terlepas dari posisi atau keberadaan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 serta Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan sebelum perubahan tersebut yang telah kehilangan eksistensinya. “Dalam hal ini, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan telah diubah menjadi Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 ketika dilakukan Perubahan Kedua tahun 2000 dan Perubahan Ketiga tahun 2001. Sementara itu, Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan telah diubah sedemikian rupa dengan konstruksi dan rumusan yang berbeda pada Perubahan Keempat UUD 1945 tahun 2002,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum untuk perkara Nomor 52/PUU-XVII/2019.
Dengan demikian, menggunakan Pasal 6 ayat (2) serta Pasal II dan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan sebagai dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu menjadi tidak relevan karena materinya tidak berlaku lagi.
Kemudian, selain dasar pengujian, dalam alasan mengajukan permohonan (posita atau fundamentum petendi), Pemohon pun tidak menjelaskan argumentasi menggunakan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pengujian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu. Sehingga, Mahkamah semakin sulit memahami alasan permohonan ketika terpapar keinginan Pemohon untuk menjadi anggota Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR) bisa mengusulkan perubahan Pasal 7 dan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945. Kerumitan tersebut sulit dihindari karena Pemohon menilai MPR, pada dasarnya, adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Terlepas dari keinginan Pemohon menjadi anggota MPR tersebut, berkenaan dengan tidak adanya penjelasan menggunakan norma dalam UUD 1945 sebagai dasar untuk pengujian, Mahkamah memaknai pasal pengujian tersebut hanyalah pajangan belaka tanpa menjelaskan dan mengaitkan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma mempertahankan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu adalah bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah menilai, kaitan antara dasar mengajukan permohonan (posita atau fundamentum petendi) dengan hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum), dalam permohonan tersebut tidak menunjukkan ketersambungan antara kedua bagian tersebut dan di antara petitum terdapat saling bertentangan. Misalnya, Petitum Angka 2, Pemohon memohon frasa “bebas, rahasia, jujur, dan adil” dalam Pasal 1 angka 1 UU 7/2017 adalah bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “jujur dan adil”. Sementara itu, dalam petitum angka 3, Pemohon memohon Pasal 1 angka 1 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai frasa “bebas dan rahasia”.
Menurut Mahkamah, tidak hanya petitum yang saling bertentangan, tidak terdapatnya ketersambungan atau keterkaitan antara dasar mengajukan permohonan dengan hal-hal yang dimintakan untuk diputus oleh Mahkamah, setidaknya, dapat dibaca dari petitum angka 4 yang meminta Mahkamah “memerintahkan pemungutan suara ulang untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 di seluruh TPS Negara Republik Indonesia”. Bahkan, petitum angka 4 tersebut makin sulit untuk dipahami dengan adanya frasa “frasa dimaknai” namun tidak dinyatakan makna apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Pemohon.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pemohon tidak dapat menerangkan alasan yang menjadi dasar untuk menyatakan norma Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 dan tidak jelasnya keterkaitan antara dasar mengajukan permohonan dengan hal-hal yang diminta untuk diputus Mahkamah, serta di antara petitum terdapat pertentangan. Sehingga, hal tersebut menyebabkan permohonan menjadi kabur. “Menimbang bahwa oleh karena permohonan kabur (obscuur) maka permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar Saldi.
Sebelumnya, Pemohon Alamsyah Panggabean Pemohon mempersoalkan maraknya politik uang selama Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 secara serentak yang mengakibatkan kerugian konstitusional Pemohon. Akibat banyaknya pelanggaran tersebut, Pemohon merasa tidak ikhlas dengan hasil pemilu serentak.
Dalam petitum, Pemohon meminta kepada MK agar memerintahkan pemilu ulang. Kemudian, penyelenggara pemilu 50 persen dari Tim Kampanye Nasional (TKN) dan 50 persen dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) agar pemilu berjalan dengan fair. Pemohon juga meminta agar ditetapkan sebagai anggota DPR dari jalur nonpartai. (Utami/NRA)