JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan yang diajukan oleh Suharjo Triatmanto terkait penggunaan frasa dan kata pada penyusunan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, tidak dapat diterima. Putusan dengan Nomor 43/PUU-XVII/2019 ini dibacakan oleh Wakil Ketua MK Aswanto pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang sebelumnya, Suharjo menyampaikan bahwa dirinya risau dengan penyusunan dan pembuatan aturan perundang-undangan yang tidak berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Padahal keberadaan lembaga pemerintah penyusun dan pembuat KBBI telah memiliki legalitas hukum. Peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia. Menurut Pemohon, ada beberapa kata yang digunakan dalam penyusunan berbagai produk hukum tertulis yang memiliki makna dan arti sangat jauh dari maksud dan pengertian yang diinginkan. Sehingga terdapat makna ganda atau bahkan makna yang tidak sama dengan yang dimaksud oleh penyusun dan pembuat peraturan perundang-undangan.
Terkait permohonan tersebut, Aswanto dalam pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai alasan Pemohon yang menganggap bahwa norma undang-undang yang diajukan pengujian tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Lebih lanjut, Panel Hakim juga telah menyarankan kepada Pemohon untuk berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum atau dengan pihak lain yang memahami hukum acara Mahkamah Konstitusi dan kewenangan Mahkamah.
“Namun, dalam Perbaikan Permohonan yang diterima Mahkamah pada tanggal 20 September 2019, permohonan Pemohon tetap tidak jelas dan selain itu Pemohon tetap tidak menguraikan permohonannya sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 51A ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan juga tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan pertentangan antara norma yang diuji dengan UUD 1945,” jelas Aswanto didampingi oleh enam orang hakim konstitusi lainnya.
Aswanto menjelaskan Mahkamah membaca dengan saksama permohonan Pemohon telah ternyata tidak terdapat kesesuaian antara alasan-alasan mengajukan permohonan (fundamentum petendi atau posita) dengan hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) sehingga membuat permohonan tersebut semakin tidak jelas. “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” tandas Aswanto. (Lulu Anjarsari/NRA)