JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan dengan Nomor 45/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Supriyono dibacakan pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pada sidang sebelumnya Pemohon menyatakan bahwa frasa “setelah” pada Pasal 38 ayat (1) dan frasa “dapat” pada Pasal 38 ayat (2) UU KIP bersifat multitafsir dan sangat berpotensi memunculkan kekeliruan tafsir. Dalam ilustrasi perkara, Pemohon menyebutkan bahwa frasa “dapat” pada pasal tersebut teraktualisasi saat proses penyelesaian sengketa informasi yang dialami Pemohon yang teregistrasi Nomor 005/III/KIP-PS/2018, yang pada proses ajudikasi nonligitasnya melebihi 100 hari. Untuk itu, Pemohon dalam petiumnya, memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) UU KIP tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata untuk menentukan hari pertama berlaku kewajiban sejak syarat permohonan formil terpenuhi dan tercatat dalam buku registrasi perkara informasi. Dan menyatakan frasa “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU KIP, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah menilai permohonan Pemohon hanya terdiri dari bagian Pendahuluan, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, dan Petitum. Dalam permohonan, tidak tercantum bagian Posita (alasan-alasan permohonan) yang merupakan bagian penting dari permohonan Pemohon karena harus memuat uraian yang membuktikan inkonstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga tidak menguraikan secara jelas dan rinci mengenai adanya pertentangan antara kata “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 dan kata “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
Padahal, lanjut Enny, dalam persidangan pendahuluan pada tanggal 12 September 2019 Mahkamah telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya dengan menjabarkan secara rinci dasar-dasar dan alasan-alasan permohonan dikaitkan dengan norma UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian. Tidak hanya itu, Mahkamah juga memberikan nasihat agar Pemohon mengikuti sistematika permohonan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan beracara di Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang yang terdiri atas bagian Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum, Alasan 20 Permohonan (Posita) dan Petitum, sehingga permohonan Pemohon menjadi lebih mudah dipahami. Pemohon juga diminta untuk melihat laman Mahkamah dan mencari Peraturan Mahkamah Konstitusi dan juga contoh permohonan Pemohon yang bisa dijadikan acuan untuk menyusun sistematika permohonannya.
“Berdasarkan uraian di atas, telah terang bagi Mahkamah, Pemohon tidak dapat menjelaskan alasan yang menjadi dasar bahwa kata ‘setelah’ dalam Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 dan kata ‘dapat’ dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian Undang-Undang a quo menjadi kabur (obscuur),” tegas Enny. (Lulu Anjarsari)