JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan uji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dalam sidang Pengucapan Putusan di Ruang pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 50/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Madsanih yang merupakan Ketua DPW Partai Bulan Bintang. Dalam permohonan, Pemohon menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon,“ ucap Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi enam hakim konstitusi lainnya.
Lebih lanjut, Aswanto menguraikan bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan Pemeriksaan Pendahuluan dalam Sidang Panel pada 18 September 2019. Selanjutnya pada sidang berikutnya, Mahkamah mendengar agenda memeriksa Perbaikan Permohonan pada 1 Oktober 2019, kuasa Pemohon menyatakan menarik permohonannya disertai dengan surat penarikan permohonan. Terhadap penarikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah pun telah menyelenggarakan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 3 Oktober 2019.
“Mahkamah telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 50/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum dan sesuai dengan Pasal 35 ayat (2) UU MK,” jelas Aswanto.
Sebagaimana diketahui, Pemohon sebagai kader PBB memiliki kesempatan untuk diusung sebagai calon kepala daerah dapal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2020 mendatang. Namun dengan adanya ketentuan norma tersebut yang memberikan syarat partai politik mendaftarkan pasangan calon harus memenuhi perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggoa DPRD di daerah yang bersangkutan. Sehingga, parpol harus menggabungkan diri kepada parpol lain agar dapat memenuhi ambang batas persyaratan tersebut. Seperti diketahui, persyaratan ambang batas parpol dalam kontestasi untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat eksekutif tersebut, berangkat dari sistem penyelenggaraan pemilu presiden (pilpres) dengan basis konstitusional Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, sistem ini diberlakukan untuk mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan perolehan suara partai politik pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di DPR.
Selain itu, menurut Pemohon, ketentuan pasal yang diujikan seharusnya dipandang sama dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang pada intinya tidak mensyaratkan adanya ambang batas untuk mencalonkan gubernur, bupati, dan walikota. Di samping itu, keberadaan kata “atau” pada UU Pemerintah Aceh yang tidak diikuti dengan adanya persyaratan perolehan dari jumlah kursi anggota dewan atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. (Sri Pujianti/LA)