JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-Undang (UU Pilkada), pada Rabu (23/10/2019) di ruang sidang Pleno MK. Sidang perkara Nomor 48/PUU-XVII/2019 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.
Dalam sidang keterangan pemerintah, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Raden Gani Muhammad mengatakan bahwa Panitia Pengawas (Panwas) Kabupaten/Kota dalam UU Pilkada dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memiliki tugas yang berbeda.
“Panwas Kab/Kota bertugas mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu sampai pelaksanaan pemilu selesai. Dan Anggota Panwaslu bekerja pada saat penyelenggaraan pilkada bersifat ad hoc. Sedangkan Bawaslu selain mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu secara berkesinambungan juga berperan sebagai regulator yang melahirkan berbagai produk peraturan pengawasan penyelenggaraan pemilu. Anggota Bawaslu bekerja dan dipilih setiap 5 tahun sekali,” ujar Gani di hadapan Pleno Hakim Konstitusi yang diketuai Anwar Usman.
Namun, dia mengakui bahwa perbedaan dari kedua UU tersebut dapat mempengaruhi Bawaslu kab/kota sampai pada tingkat di bawahnya karena persoalan yang krusial. Dia mengatakan, hal tersebut dapat menghambat kinerja Bawaslu dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat, jujur dan adil dalam Pilkada Serentak Tahun 2020. Sehingga, perlu ada kebijakan baru yang harus segera diambil oleh para pembuat regulasi penyelenggaraan pemilu.
Kemudian, lanjut Gani, dalam frasa masing-masing beranggotakan 3 orang dalam Pasal 23 ayat 3 UU Pilkadatidak perlu dipermasalahkan lagi, karena jumlah anggota 3 orang tersebut telah disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing sesuai tingkatannya. Sedangkan dalam pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 UUPilkada yang mengatur tentang pembentukan dan pembubaran Panwas kab/kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu provinsi, dalam UU PilkadaPanwaslu kab/kota pembentukannya bersifat ad hoc atau sementara. Sehingga tidak dapat disamakan dengan Bawaslu kab/kota dalam UU Pemilu yang bersifat permanen.
“Karena Panwaslu kab/kota dan Bawaslu kab/kota adalah lembaga yang berbeda meskipun tugasnya melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilu,” lanjut Gani.
Menurut Pemerintah, penyelenggara pemilu yang perlu dikembangkan adalah yang permanen dan bersifat nasional. Mengingat pemilu yang dilakukan di Indonesia adalah pemilu nasional dan lokal yang berlangsung secara reguler.
“Penyelenggara pemilu harus permanen agar dapat megakomodasi kepentingan pengelolaan pemilu nasional yang berlangsung serentak dan perencanaan persiapan yang Panjang. Sehingga, kehadiran penyelenggara diharapkan tetap permanen dan berkesinambungan,” tegasnya.
Apabila ingin menghasilkan pemilu yang efektif, demokratif dan berintegritas, menurut Pemerintah, perlu pijakan perundangan yang dinamis. Sehingga perundangan tersebut dapat mengantisipasi kelemahan-kelemahan dan peluang-peluang ke arah pelanggaran pemilu yang semakin kompleks pola pelanggarannya.
Lebih lanjut, pemerintah juga menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat dalam ikut memberikan sumbangan dan partisipasi pemikiran dalam membangun pemahaman tentang ketatanegaraan. Pemikiran masyarakat akan menjadi sebuah rujukan yang sangat berharga bagi pemerintah. Atas dasar pemikiran tersebut, pemerintah berharap pemohon dapat ikut serta dalam memberikan masukan dan tanggapan terhadap penyempurnaan UU a quo dimasa mendatang.
Pada sidang sebelumnya para Pemohon menilai diberlakukannya pasal dalam UU Pilkada tersebutsecara faktual dapat mengancam kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu, dimana para Pemohon secara faktual potensial tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan pemilihan kepala daerah karena desain kelembagaan yang dipersyaratkan dalam UU tersebut adalah Bawaslu RI ataupun provinsi untuk membentuk suatu lembaga yang dinamakan panitia pengawas pemilihan yang bersifat baru dan berbeda, serta kelembagaan dengan Bawaslu kabupaten/kota yang kedudukannya saat ini telah permanen. (Utami/NRA).