JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dalam sidang Pengucapan Putusan yang dimohonkan oleh Pdt. Rolas Jakson Tampubolon. Putusan Nomor 40/PUU-XVII/2019 ini dibacakan pada Rabu (23/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sebelumnya, Pemohon menilai Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
Sebelumnya, Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. Sebagai seorang pendeta pembantu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) dalam pelayanan, Pemohon mendapati banyak jemaat yang mengalami masalah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Menurut Rolas, jemaat tidak terlebih dahulu melakukan konseling kepada pihak gereja, tetapi langsung mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Dalam pandangan Rolas, sebaiknya penyelesaian dilakukan secara internal dahulu di dalam gereja karena perkawinan bagi kalangan Kristen dalam hukum agama adalah sekali seumur hidup. Untuk itu, bagi Pemohon, pasal tersebut tidak mempersulit terjadinya perceraian sehingga hal ini merugikan hak konstitusional warga negara.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan norma pasal a quo merupakan norma umum yang berlaku untuk semua agama yang diakui di Indonesia. Sehingga perceraian dari agama mana pun hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, baik untuk agama Kristen Protestan maupun Kristen Katholik, demikian pula untuk agama Islam. Lebih jelas, ia menguraikan bahwa sebelum pengadilan memutus perceraian tersebut, harus terlebih dahulu dilakukan proses perdamaian antara suami dan istri. Namun apabila tidak berhasil, perceraian dapat kemudian dilakukan di depan sidang pengadilan setelah dilakukan prosedur mediasi. Dengan demikian, sambungnya, sebelum sampai pada putusan hakim pasangan suami-isteri sah bercerai, maka ada proses mediasi agar pasangan suami-isteri tidak bercerai.
“Oleh karena itu, alasan Pemohon tidak dapat memberikan pelayanan dalam rangka mencegah perceraian pada jemaat merupakan alasan yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan hak konstitusional Pemohon dirugikan berlakunya frasa ‘perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan’ dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan,” ujar Arief di hadapan sidang Pengucapan Putusan yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi tujuh hakim kostitusi lainnya.
Tak Ada Kerugian
Apabila dihubungkan dengan kerugian konstitusional Pemohon, Mahkamah menilai dengan berlakunya frasa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan” dalam Pasal a quo, maka tidak terdapat hubungan sebab akibatnya. Hak konstitusional Pemohon yang dijamin Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut, sama sekali tidak ada yang dirugikan. “Sehingga dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonan Pemohon, maka tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma a quo,” jelas Arief. (Sri Pujianti/LA)