JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pengelolaan Keuangan Negara) yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (22/10/2019). Perkara ini dimohonkan oleh Ibnu Sina Chandranegara (Pemohon I) dan Aulia Kasanova (Pemohon II), yang berprofesi sebagai dosen serta Kexia Goutama (Pemohon III) yang merupakan mahasiswa. Dalam permohonan, para Pemohon menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Sejatinya, agenda sidang perkara yang teregistrasi Nomor 54/PUU-XVII/2019 ini adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Namun, Mahkamah menerima surat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang menyatakan belum menyiapkan jawaban sehingga memohonkan agar sidang ditunda. “Maka sidang ditunda pada Senin, 11 November 2019 pukul 11.00 WIB dengan agenda yang sama, yakni mendengarkan keterangan DPR dan Presiden,” ujar Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam sidang sebelumnya, secara keilmuan para Pemohon I dan II memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah diundangkannya UU Pengelolaan Keuangan Negara tersebut, terdapat penambahan kewenangan BPK berupa Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Sehingga kewenangan tambahan ini adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ditambah pula bahwa PDTT kemudian dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya, terjadi potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Sehingga potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan Status Wajar Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Adapun terhadap Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku. (Sri Pujianti/LA)