JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), pada Senin (21/10/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang yaitu perbaikan permohonan.
Permohonan perkara yang diregistrasi dengan Nomor 57/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Muhammad Raditio Jati Utomo, Deddy Rizaldy Arwin Gommo, Putrida Sihombing, dkk. Para Pemohon berjumlah 190 orang. Mayoritas mereka masih berstatus mahasiswa.
Di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, para Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan sesuai dengan nasihat Hakim dalam sidang pendahuluan. Para Pemohon memperbaiki alasan mengajukan permohonan terkait eksistensi dewan pengawas KPK.
Menurut Para Pemohon, dewan pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Pembentukan dewan pengawas dalam struktur KPK dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang dengan sebagai upaya pengawasan terhadap KPK sehingga lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang absolut. Keberadaan dewan pengawas yang diatur UU KPK justru melemahkan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Kewenangan pengawas KPK telah melampaui batas pengawasan oleh karena dewan pengawas memiliki kewenangan ijin terhadap penyadapan, penggeledahan dan penyitaan sehingga hal ini di luar batas sistemik pengawasan karena dewan pengawas bukan aparatur penegak hukum.
Selain itu, Para Pemohon mempertegas permohonan Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945. Kemudian, terkait kerugian konstitusional, para Pemohon memasukkan uraian mengenai kerugian konstitusional antar generasi dan kerugian secara kolektif serta kerugian konstitusional individual. Selain itu, Para Pemohon merubah petitum permohonan.
Sebelumnya, Para Pemohon, mendalilkan perubahan UU KPK yang telah disahkan pada 17 September 2019, telah mengebiri semangat lahirnya KPK sebagai institusi yang didesain khusus untuk memecah kebuntuan hukum perkara korupsi dan dapat mengebiri penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Perbuatan korupsi merupakan permasalahan kronis dalam suatu masyarakat demokratis. Korupsi adalah wabah berbahaya yang mengandung efek merusak sangat besar tehadap masyarakat.
Menurut Para Pemohon, pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan kepentingan masyarakat. Secara a contrario, segala upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi berarti merupakan pemerkosaan terhadap kepentingan masyarakat yang merupakan violation of constitutional rights. Para Pemohon sebagai seorang individu maupun secara kolektif merasa dirugikan oleh revisi UU KPK. Menurut para Pemohon, UU tersebut tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Kerugian tersebut dapat dicegah jika asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dipenuhi.
Selain itu, terdapat kekosongan norma dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terkait penegakan syarat-syarat anggota KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU tersebut. Namun terhadap pelanggaran dari syarat-syarat yang ada pada Pasal 29, tidak diberikan suatu mekanisme ataupun upaya hukum untuk memperkarakan pelanggaran tersebut. Sehingga Para Pemohon berpendapat, pemilihan Firly Bahuri sebagai Ketua KPK baru menuai pro kontra karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 29 UU tersebut, terlepas daripada benar tidaknya segala permasalahan yang diatributkan kepada Firly.
Menurut Para Pemohon, seharusnya terdapat suatu mekanisme atau upaya hukum melalui pengadilan untuk membuat terang permasalahan demi menghilangkan fitnah maupun perpecahan di masyarakat, baik bagi masyarakat yang memperkarakan Firly maupun bagi Firly dan pihak yang memilihnya untuk memberikan pembelaan diri. Para Pemohon meminta MK untuk melindungi hak konstitusinal Para Pemohon dalam perkara tersebut, yakni terkait pemilihan pimpinan KPK, dengan cara memastikan terdapat norma baru untuk menutupi kekosongan norma yang ada. Dengan demikian, tidak adanya lagi kekosongan norma akan memberikan perlindungan hukum yang adil bagi para Pemohon.
Kemudian, para Pemohon juga mengajukan provisi meminta MK untuk memerintahkan DPR dan Presiden untuk memberhentikan pelantikan anggota KPK. Pembentukan UU tersebut menurut mengabaikan prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur akan adanya keterbukaan. Berdasar prinsip keterbukaan, berarti terdapat partisipasi masyarakat yang dilakukan melalui ajang konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat 1-3 Perpres No 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Partisipasi masyarakat ini seharusnya dilakukan mulai dari proses penyiapan RUU, pembahasan RUU hingga pelaksanaan UU. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil secara tiba-tiba serta pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan dalam waktu yang sangat terbatas. Bukannya terlebih dahulu melibatkan partisipasi masyarakat untuk mendengar, pembentuk UU justru tetap mensahkan UU tersebut meski telah ditolak habis-habisan. Berdasarkan seluruh argumentasi, Para Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU KPK tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Ega/NRA).