JAKARTA, HUMAS MKRI – Penilaian risiko merupakan salah satu unsur Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang dilaksanakan sebuah instansi negara dalam rangka memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi. Hal ini dilakukan melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, serta ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Untuk mendukung terlaksananya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Bimbingan Teknis Penyempurnaan Manajemen Risiko bagi 31 orang pegawai di Lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, pada Senin (21/10/2019) di Ruang Delegasi MK.
Dalam pembukaan kegiatan ini, Kepaniteraan MK Muhidin menyampaikan bahwa risiko adalah hal-hal yang harus diantisipasi di depan yang dikaitkan dengan manajemen dalam sebuah proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak boleh putus. Menurut Muhidin, MK selaku lembaga kekuasaan kehakiman dalam membuat putusannya harus membangun sistem yang baik agar terus dapat dipercaya masyarakat. “Untuk itu, kita harus menyusun sistem dan manajemennya secara bersama-sama berikut dengan risiko-risiko yang dapat saja terjadi dalam setiap proses organisasi. Hal ini penting karena manusia-manusia yang ada dalam institusi ini dapat saja berganti, tetapi mewariskan kinerja yang baik kepada yang muda-muda adalah sebuah keharusan. Maka dari itu kita perlu persiapkan sistem manajemen yang baik tersebut untuk penerus,” sampai Muhidin yang dalam kegiatan ini turut didampingi Inspektur MK Pawit Haryanto dan Kepala Biro Sumber Daya Manusia dan Organisasi Teguh Wahyudi.
Muhidin menyebutkan pula bahwa tujuan pelaksanaan kegiatan ini berupa memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada unit kerja dalam melakukan proses manajemen risiko, memberikan pengetahuan kepada unit kerja tentang tata cara penilaian risiko, serta memberikan pendampingan kepada unit kerja dalam penyusunan dokumen profil risiko. Melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan teknis ini, sambungnya, diharapkan dapat memberikan manfaat di antaranya meningkatnya kualitas informasi yang tersedia bagi para pimpinan dalam pengambilan keputusan, memberikan gambaran menyeluruh dalam penyusunan strategi agar tercapainya tujuan organisasi, meningkatnya kepercayaan pemangku kepentingan terhadap MK, meningkatnya nilai maturitas SPIP, dan membentuk budaya sadar risiko di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK.
Pada penghujung sambutannya, Muhidin pun berharap atas pelaksanaan bimtek ini semoga tujuan yang MK harapkan dapat tercapai, serta memberikan manfaat bagi semua, yang pada akhirnya memberikan manfaat pula bagi kebaikan serta kemajuan MK. “Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Kegiatan Bimbingan Teknis Penyempurnaan Manajemen Risiko di Lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi ini dinyatakan dibuka,” ucap Muhidin.
Berikutnya, Inspektur MK Pawit Haryanto dalam laporan kegiatan menyebutkan bahwa kegiatan bimtek ini dilaksanakan berdasarkan amanat PP Nomor 60 Tahun 2008 tentangSPIP. Melalui adanya penilaian risiko ini, sambung Pawit, maka segala sumber informasi yang digunakan oleh pimpinan dalam mengambil keputusan dapat melahirkan terciptanya lingkungan kerja yang nyaman bagi seluruh pegawai. Untuk itu, kepada pegawai MK khususnya Eselon 2 dan pegawai yang berperan sebagai risk officer dapat mengikuti kegiatan bimtek ini dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya.
Ketidakpastian Sasaran
Saat pembukaan materi dari PT Kokek selaku konsultan MK dalam membantu melakukan analisis dan audit atas keseluruhan proses internal lembaga, Jhonny selaku salah satu pemateri menyebutkan bahwa pada dasarnya risiko adalah ketidakpastian dari sasaran atau tujuan. Sehingga hal tersebut bukan sesuatu yang harus dihindari atau bahkan ditiadakan. Menurut Jhonny, melalui kolaborasi MK dengan PT Kokek dalam bimbingan teknis manajemen risiko ini, diharapkan pihaknya dapat membantu MK untuk menerjemahkan kondisi yang ada dengan kondisi yang diinginkan MK dalam sebuah hasil berupa dokumen profil manajemen risiko. “Untuk itu, pada akhir bimbingan teknis ini diharapkan diperoleh output berupa dokumen profil manajemen risiko terkait dengan kebutuhan MK dalam manajemen organisasi lembaga,” sampai Jhonny.
Selanjutnya Rully Damayanti selaku pemateri berikutnya menyampaikan bahwa berbicara manajemen risiko maka berawal dari membuat perencanaan dan memahami hakikat dari ketidakpastian sasaran. Untuk itu, perlu dibuat SWOT yakni kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu kegiatan. Guna selanjutnya apakah sebuah risiko yang ada dalam proses kegiatan tersebut akan diambil, diberikan kepada orang lain, atau akan diminimalisasikan dengan berbagai strategi. Sehingga, sambung Rully, sasaran tiap level dalam lingkungan MK tidak tumpang tindih dan tidak berujung pada manajemen risiko yang hanya formalitas di atas kertas. “Ketidakpastian dari sebuah program akan selalu hadir, baik eksternal maupun internal dari segala kemungkinan risiko itu pasti akan ada. Maka dari itu, perlu hadirnya penanganan manajemen risiko ini untuk mempertegas sasaran kinerja, penyebab dari sebuah risiko, serta dampak positif dan negatif dari sebuah risiko yang akan dihadapi dalam menggapai target yang ingin dicapai MK dalam setiap biro-bironya,” sampai Rully.
Sebagai informasi, kegiatan Bimbingan Teknis Penyempurnaan Manajemen Risiko ini diselenggarakan selama dua hari (21-22/10/2019). Dalam kegiatan ini akan dimediatori oleh konsultan berpengalaman untuk membimbing para pegawai MK untuk menyusun target kinerja yang lebih optimal. Adapun materi yang akan diulas di antaranya terkait dengan pengetahuan dasar mengenai manajemen resiko dan tata cara penilaian resiko. Selain itu juga akan dilakukan pendampingan identifikasi resiko di unit kerja untuk melakukan analisis hasil penilaian resiko serta penyusunan dokumen profil resiko unit kerja dan diakhiri dengan penyampaian laporan profil resiko. (Sri Pujianti/NRA).