JAKARTA (Suara Karya): Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, menilai kehadiran lembaga, badan atau komisi baru saat ini bagai jamur di musim hujan. Oleh karena kurang terkendali, Jimly mendesak adanya mekanisme dalam pembentukan badan atau komisi baru tersebut. "Saat ini, masing-masing sektor membentuknya," kata Jimly di Gedung MK, Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan fenomena pertumbuhan badan atau komisi seperti itu juga dialami negara-negara lain terutama pasca gelombang reformasi, dan era globalisasi yang membentuk lembaga baru dengan tujuan untuk melakukan konsolidasi serta efisiensi.
Namun, katanya, jika tidak dikendalikan, keberadaan badan-badan baru itu justru bisa menjadi tidak efisien dan anggaran pun membengkak. "Sebagian badan ini atau komisi itu tidak masuk akal," katanya.
Dalam kondisi demikian, ia mengatakan perlu dipikirkan jangka panjangnya atas keberadaan badan atau komisi tersebut.
Disebutkan, pembentukan sebuah badan atau komisi ada yang berasal dari amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, undang-undang, dan Peraturan Presiden (Perpres). Seperti keberadaan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Komisi Olahraga Nasional Indonesia (KONI), keberadaannya dilindungi oleh UU.
Pada kesempatan terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution menyarankan hakim MK tidak melulu berasal dari latar belakang pendidikan sarjana hukum. Seseorang yang memiliki kapasitas negarawan sudah melebihi kemampuannya dari seorang sarjana hukum.
Jika mengacu ke negara lain, kata dia, hakim konstitusi tidak selalu ditempati oleh orang-orang yang bergelar sarjana hukum. "Contohnya ketika kita memimpin Majelis Konstituante, memang ketuanya saat itu bergelar sarjana hukum, yaitu Wiroko, tapi Pak Prawoto sebagai wakilnya bukan orang yang bergelar sarjana hukum," katanya.
Meski demikian, Buyung mengaku bahwa hal tersebut akan sulit dilakukan mengingat undang-undang yang mengatur masalah perekrutan calon hakim konstitusi dibatasi oleh syarat sarjana hukum.
Ia juga mengharapkan agar calon hakim konstitusi di masa yang akan datang memberikan kesempatan kepada kaum wanita. Sebab, Buyung menambahkan, saat ini di Indonesia demikian banyak kaum wanita yang memiliki kemampuan untuk menjadi hakim konstitusi.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (AMUK MK) menuntut agar para calon hakim konstitusi harus memahami perspektif HAM.
Selain itu, Firmansyah Arifin dari AMUK MK juga mengusulkan agar pemerintah memperhatikan keterwakilan perempuan dalam seleksi calon hakim MK.
Ia juga mengusulkan agar proses seleksi calon hakim konstitusi dilakukan secara transparan, partisipatif dan mudah diketahui oleh publik. "Harus ada parameter yang jelas untuk menilai kelayakan calon hakim baru MK," ujarnya. (Wilmar P/Sugandi)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto dokumentasi Humas MK