JAKARTA (Suara Karya): Guru besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Safri Nugraha, mengatakan secara yuridis ibukota merupakan pusat pemerintahan (center of government), baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun berdasarkan sejarah.
"Contoh, Jakarta ibukota yang ditentukan berdasarkan sejarah. Secara fungsional, ibukota juga berfungsi sebagai pusat perkembangan bagi daerah-daerah sekitarnya. Dari sisi hukum administrasi negara, ibukota merupakan domisili hukum yang merupakan pusat administrasi dan birokrasi," demikian Safri dalam keterangan tertulisnya yang dibacakan penasihat hukum pemohon dalam sidang uji materi UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa.
Pemindahan ibukota merupakan satu hal yang sering terjadi, baik kabupaten, provinsi maupun negara. Hal tersebut dimungkinkan karena beberapa pertimbangan teknis seperti mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. "Selama pemindahan itu menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat jelas harus dilakukan," kata saksi.
Hakim Konstitusi Natabaya merasa apa yang dikatakan ahli tidak sesuai dengan substansi perkara. "Pasal 11 dari UU ini didalilkan bertentangan dengan beberapa pasal UUD 1945, antara lain Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Apa kaitannya pasal ini dengan pemohon? Seolah-olah pasal ini (Pasal 11 UU Nomor 51 Tahun 1999--Red) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," kata Natabaya seraya meminta semua pihak membuat keterangan tertulis tentang perkara, karena sidang selanjutnya akan mengagendakan pembacaan putusan.
Pemohon Muin Fahmal sebelumnya bersikukuh dengan pendapatnya bahwa telah terjadi kerugian secara konstitusional akibat pemindahan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Kota Banggai ke Kota Salakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat (Amuk) untuk Mahkamah Konstitusi (MK) mendesak calon hakim konstitusi pengganti hakim yang habis masa tugasnya harus memahami HAM. "Hakim-hakim itu harus memiliki perspektif HAM," kata anggota AMUK MK, Firmansyah Arifin.
Menurut dia, banyak putusan MK yang terkait aspek HAM misalkan putusan MK mengenai masalah hukuman mati yang harus dipahami dengan baik dari kacamata HAM.
Ia juga mengusulkan proses seleksi dilakukan secara transparan, partisipatif dan mudah diketahui oleh publik. "Harus ada parameter yang jelas untuk menilai kelayakan calon hakim baru MK," ujarnya. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id