JAKARTA, HUMAS MKRI - Meski belum memiliki nomor, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini sebanyak 25 orang advokat mengajukan uji (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi pada Senin (14/10/2019). Dalam sidang perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Sunariyo, Netrawati, Rosyidah Setiani, Wiwin Taswin, dan lainnya.
Wiwin Taswin selaku salah satu Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 20 UUD 1945. Menurut para Pemohon, pengesahan UU KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak sesuai dengan semangat TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan sama sekali tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sambungnya, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara.
Selain itu, para Pemohon juga menilai perubahan UU KPK mengalami cacat formil dalam pembentukannya dan pengambilan keputusan oleh DPR dalam pembentukannya juga tidak memenuhi syarat kuorum. “Dengan demikian, pembentukan perubahan UU KPK secara nyata melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011,” jelas Wiwin yang juga merupakan mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Mengganggu Independensi Lembaga
Selain itu, Pemohon mendalilkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan sifat independen. Dengan sifat ini, maka terdapat jaminan terhadap penindakan dan pencegahan korupsi yang dapat dilaksanakan tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sehingga penindakan dan pencegahan korupsi dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan adanya perubahan UU KPK memunculkan Dewan Pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a yang menyatakan “Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas : a. Dewan Pengawas yan berjumlah 5 (lima) orang”. Keberadaan dewan ini berpotensi mengganggu independensi KPK dalam melakukan tugas dan fungsinya. Akibatnya penindasan dan pencegahan korupsi tidak maksimal dan berpotensi menyuburkan korupsi di Indonesia.
Untuk itu, para Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan keberlakuan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara formil tidak memenuhi prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan harus dinyatakan batal demi hukum.
Kerugian Konstitusional
Menyikapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin menyampaikan terkait legal standing para Pemohon harus menjelaskan kualifikasikan diri sebagai mahasiswa sekaligus advokat dan telah memiliki kartu advokat. Hal ini penting sebagai bukti bahwa para Pemohon memiliki hak konstitusional yang terlanggar dan berhak mengajukan pengujian perkara a quo. Khusus untuk pengujian formil, diharapkan para Pemohon menguraikan bentuk kerugian spesifik dan potensial yang dialami para Pemohon.
Pembentukan peraturan perundang-undangan ini belum ada nomornya, maka para Pemohon harus memahami prosedur dan proses dalam hal rancangan sebuah undang-undang. Hal ini perlu untuk pedoman bagi para Pemohon karena mengingat pada hari ini, UU a quo belum disahkan dan belum juga melewati masa 30 hari atas keberlakukan sebuah UU yang dimuat dalam lembaran negara. “Jadi ini belum ada yang bisa kita uji terkait perkara yang diajukan para Pemohon,” jelas Wahiduddin.
Belum Ada Objek
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny menyampaikan bahwa UU KPK yang diujikan para Pemohon belum memiliki nomor sehingga dapat dikatakan objek dari permohonan perkara para Pemohon belum ada. Sehingga, sambungnya, Majelis Hakim belum dapat memberikan nasihat dan berbagai pertimbangan terhadap norma yang diujikan. Di samping itu, Enny menilai bahwa para Pemohon pun harus memastikan serta konsisten terhadap hal yang ingin diujikan, pengujian formil atau materil atau keduanya. Mengingat ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a UU KPK tersebut mengindikasikan hal yang akan diujikan ahadal materiil dari UU a quo. “Jadi apakah akan mengajukan secara formil atau materil atau formil dan materiil?” tanya Enny.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan bahwa para Pmeohon diberikan waktu 14 hari untuk menyempurnakan permohonan dengan selambat-lambatnya menyerahkan perbaikan pada Senin, 28 Oktober 2019 pukul 10.00 WIB ke kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)