JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan pemeriksa Keuangan (UU BPK) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU Pengelolaan Keuangan Negara) di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (8/10/2019). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 54/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Ahmad Redi (Pemohon I) dan Muhammad Ilham Darmawan (Pemohon II) yang berprofesi sebagai dosen serta Kexia Goutama (Pemohon III) yang merupakan mahasiswa. Dalam permohonan, para Pemohon menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pengelolaan Keuangan Negara bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang kedua ini, Victor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan beberapa pokok perbaikan permohonan, di antaranya perubahan komposisi Pemohon dan penjelasan terkait dalil permohonan yang menggunakan dalil sistematis. Disebutkan Victor bahwa terdapat pergantian komposisi Pemohon, yakni Ibnu Sina Chandranegara (Pemohon I) dan Aulia Kasanova (Pemohon II), yang kedua-duanya berprofesi sebagai dosen dan penggiat dalam komunitas Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama).
“Pada sidang kali ini, kami sampaikan ada perubahan komposisi Pemohon yang mana Pemohon diganti oleh dua Pemohon yang baru, yang keduanya aktif dalam penggiat hukum tata negara dan konsen pada jihad konstitusi dalam memperbaiki konstitusi,” jelas Victor dihadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Manahan M.P. Sitompul.
Selain itu, Victor juga menyebutkan bahwa pihaknya menyampaikan dalil pendekatan yang digunakan dalam membangun argumentasi permohonan,yakni dalil sistematis. Menurut para Pemohon, kewenangan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) dapat saja menimbulkan kerentanan terhadap berbagai kepentingan dan disalahgunakan oleh oknum tertentu dalam lingkungan BPK karena tidak ada kejelasan aturannya. Jadi, wewenang BPK untuk melakukan PDTT ini, sambungnya, tidak memiliki basis konstitusional.
Seperti diketahui, secara keilmuan para Pemohon I dan II memahami kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945 yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sedangkan terkait dengan pemeriksaan kinerja sebagaimana disebutkan dalam kewenangan BPK pada UU BPK itu tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan. Hal ini juga termuat dalam Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, Nomor 12/PUU-XII/2014, dan Nomor 97/PUU-XI/2013. Namun, setelah diundangkannya UU Pengelolaan Keuangan Negara tersebut, terdapat penambahan kewenangan BPK berupa PDTT. Sehingga kewenangan tambahan ini adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ditambah pula bahwa PDTT kemudian dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan Pasal 5 huruf a dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Akibatnya, terjadi potensi abuse of power yang dapat saja disalahgunakan BPK. Sehingga potensi ini dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal ini terjadi timbul kerugian para Pemohon dalam menjalankan tugas sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas PDTT kepada mahasiswa padahal lembaga negara yang dimaksud sudah mendapatkan Status Wajar Pengecualian (WTP) sebelum dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Adapun terhadap Pemohon III merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan kepastian atas apa yang dipelajari di ruang perkuliahan terkait kewenangan PDTT yang ternyata tidak sejalan dengan ketentuan norma yang berlaku. (Sri Pujianti/LA)