Ahli Pemohon ngeper berbicara Hukum Tata Negara secara mendalam di depan Mahfud
Sidang uji materi UU No 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan berbeda dengan sidang-sidang biasanya. Sidang tersebut hanya dihadiri oleh lima hakim konstitusi. Namanya, sidang panel khusus. Kebiasaan di MK, sidang panel hanya dihadiri oleh tiga orang hakim. Sedangkan, sidang pleno biasanya minimal dihadiri oleh tujuh orang hakim. Itu pun bila dalam keadaan luar biasa. Demikian bunyi Pasal 28 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, ada juga hal lain yang berbeda dari biasanya. Tampak sosok baru yang hadir di kursi hakim konstitusi. Biasanya, dia duduk di kursi sebelah kiri hakim, tempat anggota DPR yang memberikan keterangan. Sosok itu adalah hakim konstitusi Mahfud MD. Hari itu, Selasa (08/4), adalah hari pertama Mahfud ikut memimpin sidang.
Layaknya terbiasa hadir di ruang sidang MK, Mahfud pun terlihat tak canggung di kursi hakim. Sesekali dia mengusap wajah, seraya mendengar keterangan para pihak serta ahli yang dihadirkan. Di lain kesempatan, ia membaca bahan yang ada di mejanya. Bahkan, suatu waktu, ia tertawa ringan bersama Hakim Konstitusi Natabaya dan Wakil Ketua MK Laica Marzuki yang memimpin sidang.
Boleh jadi Mahfud tidak canggung, tapi lain yang dialami Prof. Muin Fahmal. Ahli yang diajukan pemohon ini terkesan ragu-ragu menjawab pertanyaan tentang hukum tata negara secara mendalam. Bicara politik hukum, maaf, saya ini hanya murid, ujarnya melirik ke Mahfud. Saya segan berkomentar di depan guru.
Mungkin secara psikologis, jawaban Muin ini dipengaruhi cara bertanya kuasa hukum pemohon. Coba jelaskan apakah pasal ini bersifat otonomresponsif atau konservatifortodoks? Mumpung di sini ada guru besar kami, Prof Mahfud, demikian isi pertanyaan kuasa hukum tersebut kepada Muin.
Sementara itu, Ridaya Laodengkowe yang hadir mendampingi pemohon pun melihat adanya keseganan ahli yang diajukannya untuk menjelaskan teori HTN secara mendalam. Ahli agak sungkan kasih komentar karena takut bertentangan dengan seorang guru besar, ujarnya usai persidangan.
Namun, Ridaya yang aktif di Indonesia Corruption Watch (ICW) ini secara umum belum bisa mengomentari kiprah Mahfud di MK. Susah kita nilai karena tadi dia (Mahfud,-red) tidak tanya, tuturnya. Memang, dalam persidangan, Mahfud tak mengeluarkan secuil pun pertanyaan kepada para pihak. Ketika Ketua Majelis Laica mengisyaratkan apakah Mahfud akan bertanya, mantan politisi PKB ini hanya menunjukan telapak tangan kanan, tanda tidak. Akhirnya, kesempatan bertanya, hanya diambil oleh Natabaya.
Tak Sungkan
Beda rambut, beda isi kepala. Muin memang terlihat sungkan bicara teori HTN di depan Mahfud. Namun, ahli dari pihak terkait Rasyid Thalib justru terkesan mengkuliahi lima hakim konstitusi yang menangani perkara. Sebelumnya, ia memang menyempatkan diri memuji lima hakim di depannya. Kebanyakan hakim konstitusi adalah penulis, termasuk pak Mahfud. Selamat datang di Republik Mahkamah Konstitusi, ujarnya. MK adalah pengawal konstitusi, demikian isi kuliah awal pria yang pernah berkecimpung di Komisi Konstitusi ini.
Selanjutnya, Rasyid berbicara mengenai norma terbuka dan tertutup dalam konstitusi. Norma terbuka, lanjutnya, adalah pasal-pasal yang bisa ditafsirkan berbeda. norma tertutup adalah pasal-pasal yang sudah jelas isinya. Norma tertutup ini tak bisa diuji oleh MK. Tapi legislative review ke DPR, jelasnya. Ia berpendapat, karena norma tertutup artinya sudah jelas, maka MK tak bisa menafsirkannya. Yang sudah jelas artinya tak boleh ditafsirkan lagi, tambahnya.
Usai persidangan, kepada hukumonline Rasyid mengatakan tidak segan bicara hukum tata negara di depan hakim konstitusi yang umumnya pakar tata negara dan sebagian bergelar profesor. Jangan anggap di daerah tak ada yang pintar, tutur dosen tetap Universitas Tadulako ini. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com
Foto dokumentasi Humas MK