JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (7/10//2019). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 47/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh lima Pemohon, di antaranya Syamsul Bachri Marasabessy, Djefry Tuanany, dan Yoyo Effendi. Para Pemohon menyatakan Pasal 419, Pasal 420, Pasal 421, dan Pasal 422 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Dalam sidang kedua ini, Yoyo yang merupakan salah satu Pemohon dalam sidang kali ini menyebutkan telah memperbaiki permohonan untuk beberapa hal. Pertama, Pemohon yang semula berjumlah lima orang berubah menjadi dua orang saja, yakni Syamsul Bachri Marasabessy (Pemohon I) dan Yoyo Effendi (Pemohon II). Kedua, para Pemohon mempertegas bahwa dalam susunan permohonannya pokok permalasahan kerugian konstitusional yang dialami adalah terkait aturan pemilu. Ketiga, norma pengujian yang diujikan fokus pada Pasal 419 dan Pasal 420 UU Pemilu, yang memuat metode konversi suara dalam pemilihan umum.
“Jadi pada Pasal 419 dan Pasal 420 UU Pemilu tersebut secara nyata menimbulkan kerugian sebagai warga negara karena adanya perlakuan diskriminatif,” sampai Yoyo di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Seperti diketahui, keberadaan norma tersebut secara faktual menyebabkan hak politik para Pemohon merasa dirugikan saat pemilu. Khususnya, pada Pemilu 2019 lalu tidak dilibatkan hak suaranya dalam proses konversi suara menjadi kursi. Para Pemohon menilai hal tersebut berakibat pada terputusnya hubungan hukum antara suara para Pemohon dengan terpilihnya anggota DPR atau DPRD yang duduk di parlemen.
Dalam sebuah kasus konkret saat Pemilu 2019 lalu, para Pemohon mendapati banyak warga negara yang dilarang mencoblos karena tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Sehingga, salah satu Pemohon yang merupakan anggota KPU pada saat diselenggarakannya Pemilu 2019, memberi izin pada warga yang meski tidak terdaftar untuk mencoblos meski pada akhirnya ia diberhentikan dari keanggotaan KPU.
Menurut Pemohon, ketentuan undang-seharusnya memberikan hak kepada warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Sehingga tidak boleh dibatasi oleh adanya persyaratan administrasi undang-undang untuk melarang masyarakat tidak boleh mencoblos apabila terdaftar saja. (Sri Pujianti/NRA).