JAKARTA, HUMAS MKRI - Para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) dari Universitas Pattimura, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Universitas Sawerigading Makassar berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/10/2019). Peneliti MK, Rima Yuwana Yustikaningrum menyambut 50 mahasiswa tersebut di lantai 4 Gedung MK.
Pada pertemuan itu, Rima memaparkan secara gamblang mengenai hal-hal terkait Mahkamah Konstitusi. Terutama mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, tidak ada banding dan kasasi. Dengan demikian peradilan di Mahkamah Konstitusi berbeda dengan peradilan lainnya.
Rima juga menjabarkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK Republik Indonesia. Kewenangan pertama adalah menguji UU terhadap UUD. Kewenangan kedua adalah memutus sengketa antara lembaga negara. Sedangkan kewenangan ketiga adalah memutus pembubaran partai politik. Di samping itu ada kewenangan memutus perkara hasil pemilihan umum. Selain empat kewenangan tersebut, MK juga wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum maupun perbuatan tercela.
Selanjutnya Rima menerangkan sejumlah fungsi MK. “Bahwa MK memiliki fungsi sebagai penafsir akhir konstitusi, pengawal konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara,” kata Rima yang didampingi moderator, Galang Taufani, dosen FH Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Dalam sesi tanya-jawab, ada mahasiswa yang menanyakan peran Dewan Etik MK sebagai pengawas hakim konstitusi. Dijelaskan Rima, Dewan Etik MK memiliki wewenang untuk mengawasi etika dan perilaku hakim konstitusi. “Namun demikian, Dewan Etik MK tidak berwenang untuk mengawasi kinerja hakim konstitusi, apalagi mencampuri urusan putusan MK,” tegas Rima.
Selanjutnya, ada mahasiswa yang menanyakan kewajiban MK terkait pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terkadang muncul anggapan bahwa MPR yang memutus soal pemakzulan Presiden. Istilah pemakzulan, kata Rima, sebenarnya dicetuskan oleh media. MK lah yang wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan kewajiban MK, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Selain itu ada mahasiswa yang menanyakan apa yang menjadi pertimbangan Hakim Konstitusi dalam memutus perkara. “Dalam memutus perkara, Hakim MK tidak hanya melihat feedback dari Peneliti atau Panitera Pengganti MK, namun juga dari bukti-bukti maupun fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Selain itu bisa dari komunikasi sesama hakim ketika mereka bertukar pikiran dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. Putusan MK berkaitan dengan hajat hidup orang. Karena itu Hakim MK begitu hati-hati dalam memutus perkara. Apalagi ada pepatah bahwa satu kaki hakim di neraka dan satu kaki lagi di surga,” ,” jelas Rima. (Nano Tresna Arfana/NRA)