JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (19/9/2019). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 47/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh lima Pemohon, di antaranya Syamsul Bachri Marasabessy, Djefry Tuanany, dan Yoyo Effendi. Para Pemohon menyatakan Pasal 419, Pasal 420, Pasal 421, dan Pasal 422 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Yoyo, salah satu Pemohon dalam sidang menyebutkan bahwa pada konteks politik dan pemerintahan, keberadaan norma a quo secara faktual menyebabkan hak politik para Pemohon yang telah disalurkan dalam pemberian suara saat pemilihan umum tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Khususnya, sambungnya, Pemilu 2019 lalu, Pemohon tidak dilibatkan hak suaranya dalam proses konversi suara menjadi kursi. Sehingga, dirinya menilai hal tersebut berakibat pada terputusnya hubungan hukum antara suara para Pemohon dengan terpilihnya anggota DPR atau DPRD yang duduk di parlemen. “Kami menganggap ini adalah pengkhianatan terhadap hak sebagai warga negara yang memiliki kedaulatan dalam pemilu,” ujar Yoyo di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra.
Lebih lanjut, dalam sebuah kasus konkret Yoyo bercerita bahwa saat Pemilu 2019 lalu, dirinya mendapati banyak warga negara yang dilarang mencoblos karena tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Sehingga, ia pun selaku salah satu anggota KPU pada saat diselenggarakannya Pemilu 2019, memberi izin pada warga yang meski tidak terdaftar untuk mencoblos meski pada akhirnya ia diberhentikan dari keanggotaan KPU.
“Ketentuan undang-undang itu saya tabrak karena konstitusi memberikan hak kepada warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Sehingga tidak boleh dibatasi oleh adanya persyaratan administrasi undang-undang untuk melarang masyarakat tidak boleh mencoblos apabila terdaftar saja,” terang Yoyo yang hadir bersama Syamsul yang juga merupakan Pemohon.
Tidak Eksplisit
Menanggapi permohonan para Pemohon, Saldi menyampaikan bahwa dalam permohonan para Pemohon mempersoalkan beberapa pasal, namun tiap-tiap pasal yang disebutkan tersebut tidak dikaitkan dengan hak-hak konstitusional yang terlanggar dalam konstitusi. “Misalnya Pasal 419 itu dengan pasal berapa dalam konstitusi sehingga tidak eksplisit. Jadi, tolong diperbaiki,” nasihat Saldi.
Selain itu, Saldi pun meminta agar para Pemohon melakukan elaborasi atas persoalan yang dikemukakan dalam pengujian UU Pemilu yang dimaksud. Mengingat, dalam keterangan lisan Pemohon mempersoalkan parliamentary threshold, sedangkan dalam permohonan mempermasalahkan daerah pemilihan. Untuk itu, Saldi meminta agar para Pemohon merekonstruksi yang diinginkan dari keberadaan norma a quo yang telah merugikan hak konstitusionalnya.
Pemilih Sebenarnya
Berikutnya Suhartoyo mencermati kedudukan hukum para Pemohon yang menyebutkan telah memberikan hak suara kepada partai politik. Menurutnya, para Pemohon benar-benar harus mengetahui secara pasti konteks keberadaan mereka sebagai pemilih sebenarnya atau memiliki kapasitas lain dalam menggunakan hak tersebut.
Sedangkan Enny meminta agar para Pemohon memahami pasal-pasal yang diujikan secara utuh, dengan merujuk pada pasal awal dari ketentuan norma yang diujikan. Hal ini perlu dilakukan agar ketentuan dalam UU Pemilu tersebut dapat terlihat arah keterkaitan dan maknanya oleh para Pemohon.
Sebelum menutup persidangan, Enny mengingatkan agar para Pemohon menyempurnakan permohonan dan menyerahkan perbaikan selambat-lambatnya pada Rabu, 2 Oktober 2019 ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)