JAKARTA, HUMAS MKRI - Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Ardiansyah menyampaikan keterangan Pemerintah terkait pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (3/10/2019).
Pemerintah berpendapat, pelaksanaan pemilu secara serentak diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap sistem pemerintahan di Indonesia, di antaranya penghematan anggaran pemilu sehingga anggaran tersebut dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak konstitusional lain warga negara yang berkisar antara 5-10 triliyun rupiah.
“Hal tersebut sesuai dengan tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Ardiansyah kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Inti dari konsep pemilu secara serentak, ungkap Ardiansyah, menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dalam satu hari yang sama, sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan yang kongruen, maksudnya terpilihnya pejabat eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) yang mendapat dukungan legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif.
Selain itu, menurut Pemerintah, pemilu yang dilaksanakan secara serentak dapat menciptakan koalisi berbasis kebijakan. Sebab pemilu juga membutuhkan parpol yang kuat dan daya tahan memadai dalam mewakili kepentingan masyarakat dan menawarkan pilihan-pilihan kebijakan untuk menunjukkan kemampuannya dalam menuju kebaikan umum dan sekaligus meminimalkan pragmatisme politik yang kerap menjadi acuan aktor-aktor dan parpol-parpol dalam berkoalisi.
“Dengan pemilu secara serentak, parpol diyakini tidak bisa lagi berkoalisi secara pragmatis. Parpol akan lebih selektif mencari calon dan tidak sekadar mengandalkan pertimbangan matematis. Dalam jangka panjang, hal ini diharapkan bermuara pada penyederhanaan sistem kepartaian secara alamiah,” ucap Ardiansyah.
Sebagaimana diketahui, permohonan perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh tujuh Pemohon yang berasal dari berbagai profesi dan badan hukum. Para Pemohon, di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu, M. Faesal Zuhri, dan Robnaldo Heinrich Herman.
Para Pemohon mengujikan frasa “secara serentak dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu menyatakan,“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.” Pasal 347 ayat (1)UU Pemilu menyatakan, “Pemungutan Suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.”
Para Pemohon melalui kuasa hukum Viktor S. Tandiasa dan Yohanes Mahatma Pambudianto menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945. Yohanes saat menyampaikan alasan permohonan menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur perihal penyelenggaraan pemilu seharusnya membawa kemaslahatan bagi rakyat dan tidak boleh merugikan kepentingan rakyat khususnya menyangkut nyawa manusia.
Berpedoman dari kondisi sosial dan fenomena masyarakat saat terselenggaranya Pemilu Serentak 2019 dinilai pihaknya sangat berat dan memiliki tekanan yang cukup tinggi karena adanya penggabungan penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif. Bahkan, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) mencatat 544 orang petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 3.788 orang jatuh sakit. (Nano Tresna Arfana/NRA)