JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat kunjungan dari sejumlah siswa kelas 9 SMPIT Gema Nurani Bekasi pada Rabu (2/10/2019) di Gedung MK. Para siswa tersebut mendapatkan teori tentang Mahkamah Konstitusi. Kunjungan tersebut diterima oleh Peneliti MK Andriani Novitasari.
Dalam paparannya, Andriani menjelaskan bahwa di Republik Indonesia memiliki kekuasaan negara yang terbagi menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Andri mengatakan, kekuasaan yudikatif terdiri atas dua lembaga utama (main organ) dan satu lembaga (supporting organ). Lembaga negara tersebut bertugas melakukan pengawasan, pengawalan, dan memantau proses pelaksanaan UUD 1945 dan pengawasan pelaksanaan hukum di suatu negara. Dia menjelaskan lembaga yudikatif di Indonesia, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga lembaga negara ini berperan memberikan pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan hukum di Indonesia.
MA, lanjut Andri, merupakan pelaku kekuasaan kehakiman untuk penyelenggaraan peradilan dalam penegakan hukum yang adil. Tugasnya mengadili dan menguji peraturan perundang-undangan. Sedangkan, MK adalah kekuasaan kehakiman yang berwenang sebagai pengadilan di tingkat pertama dan terakhir. Keputusan MK bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Selain itu, MK juga bertugas menjaga penegakan kehormatan perilaku dan martabat seorang hakim. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Menurut Andri, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu, perlu diadakan organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK). Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Mohammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan Undang-undang bukan menguji Undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide akan pengujian Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Dia mengatakan, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Para hakim menjalankan wewenang MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Andri menjelaskan, Jabatan Hakim Konstitusi berjumlah sembilan orang dan merupakan Pejabat Negara yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang dari Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Masa jabatan hakim konstitusi adalah lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. (Utami/LA)