JAKARTA, HUMAS MKRI – Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak 2019 masih menjadi sorotan di masyarakat. Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pun mengajukan uji materiil terkait Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) untuk perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (2/10/2019).
Pemohon menyebutkan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu; Pasal 3 ayat (1), Pasal 201 ayat (7) dan Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum menyampaikan bahwa sistem pemilu serentak dengan model lima kotak tidak sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, desain pelaksanaan pemilu lima kotak pada satu hari bersamaan tersebut, sambungnya, membuat pemenuhan prinsip pemilu demokratis yang merupakan cerminan dari asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 telah terlanggar.
“Keserentakan pemilu yang dipersoalkan ini tidak hanya pemilu presiden dan wakil presiden, tetapi juga tingkat daerah. Maka kami ajukan UU Pemilu dan Pilkada ini sebagai objek permohonan,” ujar Fadli di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Lebih lanjut, Fadli menguraikan bahwa berpedoman pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah ingin memberikan penegasan desain pemilu serentak adalah sesuatu yang memiliki pengaruh signifikan terhadap peta checks and balances terutama terkait efektivitas sistem presidensial di Indonesia. Namun, sambungnya, desain pelaksanaan pemilu lima kotak tersebut berakibat pada lemahnya posisi presiden untuk menyelaraskan agenda pemerintahan dan pembangunan. Hal ini terjadi karena pemilihan kepala daerah dengan DPRD tidak diserentakkan, sedangkan kepala daerah adalah perpanjangan tangan pemerintahan pusat sekaligus sebagai penyelenggara otonomi daerah.
Inefektivitas Pemerintahan Daerah
Selanjutnya, Khoirunnisa Nur Agustyati selaku kuasa hukum lainnya pun menambahkan bahwa terkait dengan kewenangan dan fungsi pemerintah daerah tidak jauh berbeda dengan kerja sistem pemerintahan presidensial. Dalam perumusan peraturan daerah, kepala daerah dan DPRD membahas secara bersama-sama perumusan suatu oeraturan daerah untuk kemudian memperoleh persetujuan bersama. Hal ini senada pula dengan relasi kerja antara Presiden dan Wakil Presiden dengan DPR dalam perumusan perundang-undangan.
Akan tetapi, pada realitasnya seringkali kesetaraan dan efektivitas ini terganggu karena adanya keterpisahan waktu pemilihan umum kepala daerah dengan pemilihan anggota DPRD. Akibatnya, jelas Khoirunnisa, berdampak pada pertama, politik transaksional untuk kepentingan jangka pendek bagi kepentingan calon kepala daerah, kedua inefektivitas pemerintahan daerah karena pemerintahan dibentuk atas dasar kepentingan jangka pendek saja. Ketiga, dapat melemahkan dukungan gubernur terpilih di pilkada oleh DPRD.
“Sehingga ketika pemilihan kepala daerah dipisahkan dengan pemilihan DPRD berakibat pada tidak mampu diwujudkannya pemilihan secara demokratis serta membuat gagalnya upaya menjalankan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah seluas-luasnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah,” terang Khoirunnisa.
Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjan frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak yang terbagi atas pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, Presiden, dan DPD, dan dua tahun setelah pemilu serentak nasional dilaksanakan pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, dan Walikota.”
Narasi Implementasi
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny menyebutkan bahwa dalam permohonan Pemohon sebenarnya yang diajukan adalah dua undang-undang karena pada UU Pilkada tersebut berikut dengan perubahannya. Sehubungan dengan hal ini, Enny belum mendapati gambaran utuh tentang inkonstitusionalitas norma yang telah merugikan Pemohon. Hal yang dilihat Enny lebih kepada keinginan Pemohon untuk menggeser pendirian Mahkamah tentang penyelenggaraan pemilu serentak.
“Jadi, dalam hal ini Pemohon menginginkan tidak lagi ada keserentakan antara pemilihan DPRD dengan pemilihan Presiden, DPR, dan DPD karena DPRD diharapkan pemilihan serentaknya bergabung dengan pemilihan kepala daerah,” terang Enny.
Dengan demikian, Enny berharap Pemohon dapat membuat uraian yang jelas dengan dasar argumentasi yang kuat sehingga permohonan Pemohon tidak hanya mengutarakan narasi implimentasi tentang dampak dari penyelenggaraan pemilu serentak, seperti adanya korban jiwa dan lainnya.
Undang-Undang Baru
Sementara itu, Palguna melihat bahwa Pemohon secara keseluruhan berangkat dari asumsi pemilu sama dengan pilkada. Sehingga rentetan yang perlu dipahami Pemohon dari konsekuensi yang diajukan adalah penyelesaian perkara pemilihan umum yang kemudian menjadi bagian dari kewenangan MK yang turut juga berpengaruh. “Asumsi permohonan Pemohon ini kemudian dapat saja melahirkan konsekuensi untuk membuat UU baru karena terkait dengan banyak hal, termasuk dengan kewenangan MK,” jelas Palguna.
Sebelum menutup sidang, Palguna menyampaikan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 15 Oktober 2019 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)