JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali atas permohonan uji Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Putusan Nomor 49/PUU-XVII/2019 dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Senin (30/9/2019). Sebelumnya, sejumlah pimpinan LPPOM dari 31 provinsi menyatakan Pasal 5, Pasal 6, serta Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH bertentangan dengan amanat Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Ketua MK Anwar Usman menyebutkan bahwa Mahkamah telah menyelenggarakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 17 September 2019 dengan agenda mendengarkan permohonan para Pemohon. Dalam sidang tersebut, sambungnya, Majelis Panel telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Namun kemudian pada 20 September 2019 Mahkamah menerima surat dari para Pemohon yang menyatakan penarikan kembali permohonan.
“Maka berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 25 September 2019 telah menetapkan permohonan pencabutan atau penarikan permohonan Perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019 beralasan menurut hukum,” jelas Anwar di hadapan sidang dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, para Pemohon menilai UU a quo telah berakibat pada peralihan kewenangan sertifikasi produk halal yang semula dimiliki Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menjadi kewenangan Pemerintah melalui menteri agama. Sejatinya, otoritas penetapan halal dan haram pada suatu produk diberikan pada Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwa MUI dengan membentuk suatu badan khusus yakni LPPOM MUI. Lembaga ini diberikan wewenang untuk melakukan sertifikasi terhadap kehalalan produk. Di samping itu, lembaga ini merupakan lembaga yang telah ada dan diterima keberadaannya oleh masyarakat Indonesia sejak 1989 hingga sekarang.
Akan tetapi, melalui Pasal 5 dan Pasal 6 UU JPH telah mengalihkan fungsi lembaga ini kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia. Adapun pada Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH, berakibat pada pembatasan dan/atau pereduksian kewenangan yang dimiliki MUI kepada BPJPH untuk melakukan kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri tanpa mengikutsertakan MUI. Akibatnya terkesan membiarkan produk-produk luar negeri tersebut masuk ke Indonesia tanap melalui proses sertifikasi halal atau tanpa adanya fatwa MUI. Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 5, Pasal 6, serta Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3) UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Sri Pujianti/LA)