JAKARTA, HUMAS MKRI – Masih berusia seumur jagung, UU KPK yang menuai kontroversi diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji secara materiil. Sejumlah 18 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi menguji Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Senin (30/9/2019), di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang teregistrasi dengan nomor perkara 57/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh Muhammad Raditio Jati Utomo, Deddy Rizaldy Arwin Gommo, Putrida Sihombing, dkk.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, para pemohon yang diwakili Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mendalilkan perubahan UU KPK yang telah disahkan pada 17 September 2019, telah mengebiri semangat lahirnya KPK sebagai institusi yang didesain khusus untuk memecah kebuntuan hukum perkara korupsi dan dapat mengebiri penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia menambahkan perbuatan korupsi merupakan permasalahan kronis dalam suatu masyarakat demokratis. “Korupsi adalah wabah berbahaya yang mengandung efek merusak sangat besar tehadap masyarakat,” ujar Zico di hadapan hakim konstitusi.
Menurut Pemohon, pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan kepentingan masyarakat. Secara a contrario, segala upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi berarti merupakan pemerkosaan terhadap kepentingan masyarakat yang merupakan violation of constitutional rights. Maka dari itu, dalam perkara a quo, para Pemohon sebagai seorang individual di dalam masyarakat ataupun secara kolektif bersama-sama memperkarakan UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, memiliki kepentingan yang dirugikan oleh UU KPK karena proses pembentukan undang-undang yang baik tidak dipenuhi, dan kerugian tersebut dapat dicegah jika asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dipenuhi.
Selain itu, terdapat kekosongan norma dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terkait penegakan syarat-syarat anggota KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang a quo. Namun terhadap pelanggaran dari syarat-syarat yang ada pada Pasal 29 UU a quo, tidak diberikan suatu mekanisme ataupun upaya hukum untuk memperkarakan pelanggaran tersebut. Sehingga Para Pemohon berpendapat, pemilihan Firly Bahuri sebagai Ketua KPK baru menuai pro kontra karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 29 Undang-Undang a quo, terlepas daripada benar tidaknya segala permasalahan yang diatributkan kepada Firly.
Menurut Zico, seharusnya terdapat suatu mekanisme atau upaya hukum melalui pengadilan untuk membuat terang hal tersebut, demi menghilangkan fitnah maupun perpecahan di masyarakat, baik bagi masyarakat yang memperkarakan Firly maupun bagi Firly dan pihak yang memilihnya untuk memberikan pembelaan diri. Para Pemohon meminta MK untuk melindungi hak konstitusinal Para Pemohon dalam perkara a quo, yakni terkait pemilihan pimpinan KPK, dengan cara memastikan terdapat norma baru untuk menutupi kekosongan norma yang ada. Dengan demikian, tidak adanya lagi kekosongan norma akan memberikan perlindungan hukum yang adil bagi para Pemohon.
Kemudian, para pemohon juga mengajukan provisi meminta MK untuk memerintahkan DPR dan Presiden untuk memberhentikan pelantikan anggota KPK. Kemudian. menurut para Pemohon, Pembentukan Undang-Undang a quo mengabaikan prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur akan adanya keterbukaan. Berdasar prinsip keterbukaan, berarti terdapat partisipasi masyarakat yang dilakukan melalui ajang konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat 1-3 Perpres No 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Partisipasi masyarakat ini seharusnya dilakukan mulai dari proses penyiapan RUU, pembahasan RUU hingga pelaksanaan UU. Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil secara tiba-tiba serta pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan dalam waktu yang sangat terbatas. Bukannya terlebih dahulu melibatkan partisipasi masyarakat untuk mendengar, pembentuk Undang-Undang namun justru tetap mensahkan Undang-undang a quo meski telah ditolak habis-habisan. “Berdasarkan seluruh argumentasi, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU KPK tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” jelasnya.
Nasihat Hakim
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasehati agar kerugian konstitusional pemohon diuraikan secara jelas. Menurut Enny, pada permohonan para pemohon kerugian konstitusional tersebut belum diuraikan oleh pemohon. Selain itu, Enny mengatakan harus ada kepastian dalam mengajukan pengujian Undang-Undang.
“Apa sebetulnya yang ingin ajukan permohonannya. Harus ada kepastian dahulu, ingin mengajukan pengujian terhadap UU yang mana ke MK. Karena bagaimana pun juga tidak mungkin MK memutus putusannya bertuliskan titik-titik, kan harus ada kepastian, ini yang diminta juga kan kepastian hukum oleh pemohon. Sehingga harus ada kepastian pula ” tegas Enny di hadapan beberapa para pemohon. Kemudian, menyarankan pemohon agar menyusun permohonan dirapihkan sedemikian rupa.
Majelis memberikan waktu 14 hari kerja kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan. (Utami/LA)