JAKARTA, HUMAS MKRI - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahrus Ali menerima 89 mahasiswa Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga di Aula Gedung MK, Kamis (26/9/2019) siang. “Materi yang akan saya sampaikan semoga berguna untuk penelitian adik-adik mahasiswa,” kata Mahrus.
Di awal, Ali menerangkan pengertian Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan tata negara. “MK lebih concern ke pengadilan tata negara. Perkara-perkara yang diajukan ke MK, dalam konteks pengujian undang-undang, adalah perkara norma atau abstrak. Bukan perkara konkret seperti kejahatan dan sebagainya,” kata Ali.
Kenapa harus ada MK? Lahirnya MK di Indonesia sebagai salah satu tuntutan reformasi, selain juga penegakan hukum, demokrasi, termasuk juga amendemen UUD 1945. “Apa yang diperjuangkan mahasiswa kemarin, sebenarnya sama dengan semangat reformasi,” jelas Ali. Latar belakang dibentuknya MK, ujarnya, bagaimana MK memastikan setiap undang-undang tidak ada yang bertentangan dengan Konstitusi.
“Perlu kita pahami, MK bersifat pasif. Artinya, MK akan mengadili, memeriksa dan memutu setiap perkara kalau ada yang mengajukan permohonan. Jika tidak ada yang mengajukan, maka tidak ada putusan,” ungkap Ali.
Dalam menjalankan tugasnya, MK memiliki kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan MK lainnya adalah memutus perselisihan sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, MK memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik. Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
“Di antara kewenangan-kewenangan MK tersebut, hanya kewenangan memutus pembubaran parpol dan memutus pendapat DPR terkait pemakzulan Presiden yang belum pernah dilakukan MK hingga kini,” ucap Ali.
Lebih lanjut, Ali menyampaikan bahwa MK sudah sering kali menggelar sidang pengujian undang-undang. Misalnya UU Perkawinan, UU Penodaan Agama, UU Pengelolaan Zakat, dan lainnya. “Yang paling banyak diuji adalah UU Perkawinan,” tegas Ali.
Bicara mengenai putusan-putusan MK, Ali menyinggung putusan mengenai anak di luar nikah sebagai salah satu putusan fenomenal MK. Melalui Putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, MK menyatakan Pasal 43 Ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan MK menegaskan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
“Tujuan MK adalah untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan,” tandas Ali. (Nano Tresna Arfana/LA)