JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada Kamis (26/9/2019). Perkara yang teregistrasi Nomor 45/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Supriyono yang menilai Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU KIP bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. Sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK ini dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini, Supriyono menyebutkan perlu adanya penegasan penafsiran oleh MK terhadap pasal tersebut karena adanya ketidakpastian hukum yang muncul secara nyata dan bukan sekadar asumsi akibat dari tafsir yang berbeda-beda terhadap norma tersebut dalam praktik hukumnya. Sebagai contoh konkret multitafsirnya makna frasa “setelah” tersebut, Supriyono menyebutkan di antaranya terdapat pada Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (3) UU MK serta Pasal 475 ayat (1) UU Pemilu. MK telah memiliki tafsir frasa “setelah” itu adalah satu hari atau satu hari kerja, dan berikutnya sudah terhitung kewajiban atau hak dari sejak. Hal ini, sambung Supriyono, bertentangan dengan pemaknaan frasa “setelah” pada Pasal 38 ayat (1) UU KIP, yang ditafsirkan dalam jawaban tertulis serta putusan-putusan resmi sejak menerima permohonan penyelesaian sengketa informasi yakni satu hari atau satu hari kerja belum terhitung kewajiban atau hak dari sejak pengajuan sengketa.
“Jadi, masih ada waktu tunggu yang tidak bisa ditentukan kepastiannya atau tenggang waktu yang sangat panjang untuk dimulai proses penyelesaian sengketa informasi. Hal inilah yang berlaku, bukan hanya pada Pemohon, namun kepada seluruh Warga Negara Indonesia yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik,” jelas Supriyono.
Selanjutnya, Supriyono menyebutkan pula bahwa terhadap kata “dapat” juga telah menimbulkan pergeseran makna dalam praktiknya. Hal ini tergambar jelas pula dalam Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Sedangkan pada Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang KIP ditafsirkan bahwa proses penyelesaian sengketa informasi bila dihitung, baik dari saat menerima permohonan atau dari waktu sidang pertama melebihi 100 hari kerja. Sehingga, hal ini dapat berarti proses penyelesaian sengketa paling lambat diselesaikan dalam waktu 100 hari kerja dan seolah-olah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Maka, kata “dapat” dalam undang-undang a quo mengatur batas waktu proses penyelesaian, namun dalam praktiknya terabaikan sehingga memiliki dampak hukum lain seperti Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia yang membatasi warga negara untuk bisa melaporkan dugaan mal administrasi hanya dalam kurun waktu 2 tahun atau 24 bulan, sedangkan putusannya terbukti secara jelas bahwa baru mulai proses sidang sengketa informasi 22 bulan setelah menerima permohonan dan hal itu belum lagi dihitung dari 100 hari kerja yang boleh dilampaui,” sampai Supriyono.
Pada sidang sebelumnya Pemohon menyatakan bahwa frasa “setelah” pada Pasal 38 ayat (1) dan frasa “dapat” pada Pasal 38 ayat (2) UU KIP bersifat multitafsir dan sangat berpotensi memunculkan kekeliruan tafsir. Dalam ilustrasi perkara, Pemohon menyebutkan bahwa frasa “dapat” pada pasal tersebut teraktualisasi saat proses penyelesaian sengketa informasi yang dialami Pemohon yang teregistrasi Nomor 005/III/KIP-PS/2018, yang pada proses ajudikasi nonligitasnya melebihi 100 hari.
Untuk itu, Pemohon dalam petiumnya memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “setelah” dalam Pasal 38 ayat (1) UU KIP tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata untuk menentukan hari pertama berlaku kewajiban sejak syarat permohonan formil terpenuhi dan tercatat dalam buku registrasi perkara informasi. Dan menyatakan frasa “dapat” dalam Pasal 38 ayat (2) UU KIP, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Sri Pujianti/NRA).