JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada Kamis (26/9/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang yang teregistrasi Nomor 40/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Pada sidang perbaikan permohonan ini, Rolas Jakson Tampubolon selaku Pemohon yang berprofesi sebagai pendeta menyampaikan melakukan penambahan alasan permohonan yang diajukan dalam pengujian Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan yang dinilainya bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945
Dalam alasan permohonan tambahan tersebut, Rolas menyebutkan bahwa jemaat tidak mau mengonselingkan permasalahan rumah tangga dan cenderung menyatakan masalah rumah tangganya tidak apa-apa. “Sehinga ini menyulitkan untuk memberikan konseling,” terang Rolas.
Di samping itu, Rolas juga menyampaikan jika pada bagian petitum dirinya mengubah kata tokoh agama menjadi pemuka agama. Dengan demikian, pada bagian petitum pun berubah menjadi Mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah suami atau istri memperoleh keterangan bimbingan perkawinan dari pemuka agama yang hukum agamanya melarang perceraian.”
Sebelumnya, Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. Sebagai seorang pendeta pembantu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) dalam pelayanan, Pemohon mendapati banyak jemaat yang mengalami masalah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Menurut Rolas, jemaat tidak terlebih dahulu melakukan konseling kepada pihak gereja, tetapi langsung mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.
Dalam pandangan Rolas, sebaiknya penyelesaian dilakukan secara internal dahulu di dalam gereja karena perkawinan bagi kalangan Kristen dalam hukum agama adalah sekali seumur hidup. Untuk itu, bagi Pemohon, pasal tersebut tidak mempersulit terjadinya perceraian sehingga hal ini merugikan hak konstitusional warga negara. (Sri Pujianti/LA)