SENTUL, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Kegiatan Peningkatan Pemahaman Konstitusi Bagi Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) pada 24-27 September 2019. Berbagai materi disampaikan oleh para narasumber dari Hakim Konstitusi, Ketua MK periode 2003-2008 hingga Pakar Hukum Tata Negara pada Rabu (25/9/2019) di Sentul, Bogor. Narasumber Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan materi “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar”.
Wahiduddin menjelaskan dalam rangka harmonisasi undang-undang, Putusan MK hanya akan efektif bila pihak-pihak yang terikat untuk menindaklanjuti putusan, menghormati putusan tersebut. Penghormatan untuk menindaklanjuti putusan MK haruslah dilandasi dengan semangat konstitusionalisme untuk menegakkan dan menjalankan UUD secara murni dan konsekuen.
Dikatakan Wahiduddin, bahwa mandat konstitusional yang dibebankan kepada MK tidaklah ringan. Belum adanya pemahaman yang sama diantara para penyelenggara negara mengenai keberadaan MK, sifat putusan MK, serta bagaimana menindaklanjuti putusan MK menjadi kendala tersendiri.
“Selain itu, belum terbangunnya sistem untuk mendudukkan putusan MK dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan juga menjadi problematika tambahan. Penyebarluasan dan penyerataan informasi menjadi tulang punggung dalam rangka proses penyempurnaan sistem peraturan perundang-undangan,” ucapnya.
Dalam kaitannya dengan perlindungan hak warga negara dengan penyandang disabilitas, MK pernah memutus satu perkara mengenai perlindungan hak pilih bagi warga dengan disabilitas mental. Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 menyatakan bahwa “Pemilih yang terdaftar adalah yang tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”. Ketentuan tersebut dianggap menghilangkan hak memilih seorang warga negara, padahal kondisi terganggu jiwa atau ingatannya bukan merupakan kondisi yang permanen.
Selain itu, tambah Wahiduddin, kriteria gangguan jiwa atau ingatan yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak jelas. Gangguan jiwa atau ingatan memiliki dimensi yang luas, yang tidak selalu berakibat pada ketidakcakapan memilih dalam pemilihan umum. Negara, melalui instrumen UU, seharusnya melakukan upaya untuk menjamin dan memastikan agar semua warga negara memiliki aksesibilitas yang baik untuk menggunakan hak memilihnya. Upaya itu harus dilakukan dengan mengatasi segala hambatan warga negara untuk berpartisipasi menggunakan hak memilihnya, termasuk warga negara dengan disabilitas mental.
Oleh karena itu, MK mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang mengabulkan sebagian permohonan. MK menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”.
Dinamika Konstitusi
Hadir juga Ketua MK Periode 2003-2008 Jimly Asshidiqie menyajikan materi “Dinamika Konstitusi dan Konstitusionalisme”. “Konstitusionalisme keseluruhan prinsip negara hukum haruslah dirumuskan dalam konstitusi, baik dalam arti tertulis dalam satu naskah UUD ataupun dalam arti tidak tertulis dalam satu naskah,” kata Jimly dalam acara tersebut.
Jimly melanjutkan, paham konstitusional ini dalam sejarah pemikiran hukum tata negara biasa disebut dengan konstitusionalisme yang di zaman sekarang ini dianggap sebagai satu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan.
Kemudian Jimly mengungkapkan semakin elastis suatu aturan, makin terbuka kemungkinannya untuk menampung dinamika perkembangan zaman, sehingga UUD tidak lekas ketinggalan zaman. Namun demikian, meskipun perumusan UUD ini bersifat garis besar, haruslah disadari jangan sampai ketentuan yang diaturnya bermakna ganda atau dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa.
Jimly juga menerangkan yang terpenting adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara negara. Meskipun dirumuskan dengan jelas bahwa Undang-Undang Dasar menganut asas kedaulatan rakyat atau demokrasi, jika para penyelenggara negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak mempunyai tekad dan komitmen untuk mewujudkan demokrasi itu dalam kenyataan atau hanya menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata, maka pasal yang jelas menentukan adanya demokrasi itu tidak akan terwujud dalam praktik.
Oleh karena itu, meskipun perumusan UUD tidak sempurna, tetapi semangat para penyelenggara negara bersih dan tulus dalam menjalankan konstitusi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, maka kekurangan dalam perumusan pasal UUD tidak akan merintangi jalannya penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya menuju terwujudnya cita-cita bangsa berdasarkan kelima sila Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, Kegiatan Peningkatan Pemahaman Konstitusi Bagi PPDI, juga diisi narasumber Gregorius Seto dengan materi “Reaktualisasi dan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila”. Menurut Gregorius, reaktualisasi implementasi pancasila sebagai dasar negara, mengkaji ulang dan menata kembali segenap peraturan perundang-undangan sesuai Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, membentuk peraturan perundang-undangan di bidang politik dalam rangka membangun sistem politik demokrasi pancasila.
“Diantaranya membentuk peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi dalam rangka membangun sistem ekonomi pancasila. Membentuk peraturan perundang-undangan di bidang sosial dan budaya dalam rangka membangun sistem kehidupan kemasyarakatan yang berbudaya pancasila,” urai Gregorius.
Narasumber lainnya Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kemensos Erniyanto menyampaikan materi “Kebijakan Kementerian Sosial dalam Penanganan Penyandang Disabilitas”. Dikatakannya, bahwa kebijakan rehabilitasi sosial bersama-sama dengan Kementerian terkait, yaitu menyusun peraturan teknis tentang disabilitas yang diamanatkan oleh UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.
Lanjut Erniyanto, Pemerintah juga telah menyediakan Kartu Penyandang Disabilitas (KPD) untuk semua penyandang disabilitas mulai dari anak-anak hingga orang tua. KPD ini merupakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. “Semua penyandang disabilitas memiliki hak untuk memiliki KPD setelah dimasukkan dalam data nasional penyandang disabilitas, yang harus konsisten dengan data demografis,” jelasnya.
KPD digunakan sebagai kartu identitas yang berisi informasi mengenai cacat yang dimiliki oleh orang-orang tersebut. Oleh karena itu, jika mereka perlu mengakses fasilitas tertentu, penyedia layanan harus menyediakan mereka dengan kebutuhan spesifik. Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan asuransi kesehatan (PBI) dan program perlindungan sosial kondisional (PKH) dan transfer tunai tanpa syarat (ASPD) untuk para penyandang disabilitas.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Berikutnya, Narasumber Pengamat Hukum Ahmad Redi yang menyampaikan materi “Sistem Penyelenggaraan Negara menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Redi menyinggung soal hubungan pemerintah pusat dan daerah, hubungan Presiden dengan gubernur dan bupati/walikota bersifat hierarkis dan hubungan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dengan bupati/walikota bersifat hierarkis. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah pemegang kekuasaan dan tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden sesuai pasal 4 ayat (1) UUD 1945) dan Pasal 7 ayat (1) UU 23/2014.
“Untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan yang dijabarkan dalam berbagai urusan pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden,” jelas Redi.
Di samping itu, Redi menjelaskan tentang pengelompokan sistem pemerintahan, di antaranya sistem pemerintahan presidensial. Menteri bertanggung jawab kepada Presiden karena Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sistem pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada Parlemen (Legislatif).
Lainnya, sistem pemerintahan parlementer, Pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada Parlemen. Dalam sistem pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Selain itu, sistem pemerintahan campuran dalam sistem pemerintah ini diambil hal-hal yang terbaik dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlemen.
Pakar Hukum lainnya, Hesti Armiwulan menyampaikan materi tentang “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD Negara RI tahun 1945”. Hesti menjabarkan konstitusi telah menjamin perlindungan HAM hak warga negara dan penduduk, serta kewajiban negara untuk melindungi dan memenuhi hak konstitusional.
Selain itu, muatan Hak Asasi Manusia dalam UUD Negara RI Tahun 1945 telah diatur dalam pasal 28 I ayat (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. (Bayu/LA)