JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (25/9/2019) siang. Sidang perkara Nomor 52/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Alamsyah Panggabean yang menguji Pasal 1 angka 1 dan angka 27 UU Pemilu.
Pasal 1 angka 1 UU Pemilu menyebutkan, Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 angka 27 UU Pemilu menyebutkan, Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pemohon mempersoalkan maraknya politik uang selama Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 secara serentak yang mengakibatkan kerugian konstitusional Pemohon. Akibat banyaknya pelanggaran tersebut, Pemohon merasa tidak ikhlas dengan hasil pemilu serentak.
Dalam petitum, Pemohon meminta kepada MK agar memerintahkan pemilu ulang. Kemudian, penyelenggara pemilu 50 persen dari Tim Kampanye Nasional (TKN) dan 50 persen dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) agar pemilu berjalan dengan fair. Pemohon juga meminta agar ditetapkan sebagai anggota DPR dari jalur nonpartai.
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasehati agar Pemohon menyusun permohonan sesuai dengan format yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi.
“Selain itu mesti dijelaskan apa kerugian konstitusional Pemohon dengan adanya definisi Pemilu dalam Undang-Undang Pemilu,” tegas Enny.
Selain itu, Enny menilai tuntutan Pemohon tidak lazim karena tuntutan bukan soal ikhlas atau pun tidak ikhlas. Oleh karena itu Pemohon diminta untuk memperbaiki permohonannya.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar Pemohon dapat merombak total permohonan. (Nano Tresna Arfana/NRA).