JAKARTA, HUMAS MKRI – Sebagai penjaga Konstitusi, maka sudah semestinya Mahkamah Konstitusi (MK) meluruskan hal yang bertentangan dengan Konstitusi sebagaimana pandangan dari Madison pada 1803 yang telah mengubah konstitusi Amerika Serikat melalui judicial interpretation. Dengan demikian, baik secara teori ataupun praktik hukum MK sendiri, maka perubahan atau penambahan kewenangan MK dapat dibenarkan. Hal demikian disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Taufiqurrahman Syahuri selaku Ahli yang dihadirkan oleh Viktor Santoso Tandiasa (Pemohon I) dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon II) dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (25/9/2019).
Lebih lanjut, Taufiqurrahman menjelaskan sehubungan dengan Pasal 10 ayat (1) UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK ini, dapat ditempuh melalui perubahan konstitusi dengan cara di luar cara formal, yakni melalui judicial interpretation. Artinya, sambungnya, apabila ada keinginan mengubah Konstitusi, maka lembaga negara diberi wewenang yang usulannya diajukan oleh rakyat. “Usul perubahan konstitusi yang dimaksudkan itu disiapkan dahulu oleh badan yang diberi wewenang,” jelas Taufiqurrahman menanggapi permohonan Nomor 28/PUU-XVII/2019.
Dengan demikian, Taufiqurrahman menyimpulkan bahwa adanya keinginan para Pemohon untuk menambahkan kausul constitutional complaint masuk dalam kewenangan MK tanpa melalui perubahan konstitusi, dapat dibenarkan dengan cukup melalui penafsiran hakim.
Harmonisasi Penguasa dan Rakyat
Pada kesempatan yang sama, Kris Wijoyo Soepandji yang juga dihadirkan para Pemohon dalam keterangannya menyebutkan konsep constitutional complaint perlu diberikan jalan dalam bentuk peraturan negara sebagai upaya menjaga dan menegakkan nilai-nilai keadilan serta keseimbangan dalam kehidupan bbernegara di Indonesia. “Maka penilaian ini kembali kepada penilaian Hakim Konstitusi,” jelas Ahli Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Penilaian tersebut, sambung Kris, seyogianya selain mempertimbangkan aspek geografis, demografi, SDA, ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan juga perlu diperhatikan mekanisme keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa yang dijamin konstitusi. Di samping itu, Kris pun memandang perlu bahwa peraturan perundang-undangan yang ada harus dipastikan dapat menjamin keadilan dan keseimbangan kehidupan masyarakat. Sehingga hubungan antara penyelenggara negara dalam pemegang kekuasaan negara dengan warga dapat berjalan dengan harmonis.
Sebagai informasi, Pemohon I pernah berperkara di MK dalam perkara Nomor 123/PUU-XIII/2015, yang dalam putusan tersebut Mahkamah pada perkara tersebut menyatakan “memang terdapat kekosongan hakim, yaitu bukan hanya tidak adanya atau tidak ditegaskannya mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh seseorang tersangka yang tanpa alasan yang jelas tidak segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”, namun setelah 3 tahun berjalan sejak diputuskan pembentuk UU belum menindaklanjuti hal yang telah diputuskan Mahkamah.
Adapun Pemohon II juga pernah memperjuangkan hak konstitusional melalui perkara Nomor 76/PUU-XVI/2018 dan perkara Nomor 5/PUU-XVII/2019. Dalam kedua permohonan tersebut, Pemohon II tidak mengujikan norma, tetapi menyatakan tidak dilakukannya revisi oleh pembentuk undang-undang. Terhadap ketentuan norma pasal a quo, Pemohon II menilai bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan bahwa mekanisme pengaduan konstitusional merupakan salah satu mekanisme perlindungan hak konstitusional warga negara melalui pengadilan tata negara dalam hal ini MK, yang bertujuan memberikan perlindungan dengan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Dengan demikian, sebagai bagian dari konstitusi yang merupakan hukum fundamental yang membatasi kekuasaan negara, hak konstitusional juga merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar menyebutkan bahwa sehubungan dengan sidang hari ini adalah sideng terakhir, maka Kuasa Presiden dapat menyerahkan kesimpulan selambat-lambatnya pada Rabu, 2 Oktober 2019 ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)