JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, pada Rabu (25/9/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang teregistrasi dengan Nomor 53/PUU-XVII/2019 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Dalam permohonan ini, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku Pemohon yang merupakan seorang pemuda yang mencintai Pancasila dan selalu ingin menegakkan Pancasila sebagai dasar negara demi keutuhan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, Pemohon mempunyai satu hambatan terbesar dalam meningkatkan kesadaran terhadap Pancasila, yaitu menghadapi orang-orang yang ingin mengganti Pancasila menguji Pasal 107 ayat (1) UU Nomor 1/1946 yang berbunyi sebagai berikut: “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Menurut pemohon, saat ini, tidak ada aturan hukum yang melarang siapapun untuk mengampanyekan mengganti Pancasila dengan ideologi lain apapun, kecuali Marxisme-Leninisme. Akibatnya, terdapat pemikiran untuk mengganti Pancasila, baik itu dengan liberalisme maupun khilafah. Ia berpendapat bahwa seluruh pasal yang diuji ketentuan sanksi pidana terpusat pada pengaturan akan penyebaran paham komunisme/Marxisme-Leninisme, padahal ancaman mengganti Pancasila tidak lagi hanya datang dari paham tersebut namun juga datang dari paham-paham lainnya.
Dengan demikian, jelas bahwa dalam status quo pada saat ini, siapapun yang melakukan upaya atau tindakkan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat dipidana, selama upaya atau tindakkannya tersebut tidak berakibat pada timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda. Karenanya, pasal a quo dalam UU KUHP tidak memberikan perlindungan hukum yang adil karena tidak melindungi Pancasila sebagai dasar negara. Padahal, pasal tersebut merupakan kejahatan terhadap keamanan negara yang mencakup juga kejahatan terhadap ideologi Negara. Pasal a quo juga tidak memenuhi paradigma tujuan pemidanaan apabila tidak melindungi Pancasila sebagai dasar Negara. Sehingga, berdasarkan alasan-alasan tersebut, melalui petitum, pemohon memohon MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan saran kepada Pemohon agar menguraikan secara lebih terinci mengenai kedudukan hukum (legal standing) yang dikaitkan pula dengan kerugian hak konstitusional Pemohon. Sementara Hakim Konstitusi Wahidudin Adams menyarankan Pemohon agar melampirkan alat bukti sebagai referensi hakim dalam memeriksa permohonan sesuai dengan hukum acara. Selain itu, pemohon juga perlu mengaitkannya pasal yang diuji dengan kerugian yang dialami Pemohon.
Adapun Wakil Ketua MK Aswanto mengatakan bahwa pasal yang diuji sudah pernah diputus 3 kali oleh MK. Sehingga, Pemohon bisa membaca pertimbangan hukum dari putusan-putusan yang telah diputus oleh MK sebelumnya untuk mengelaborasi kerugian permohonan dalam permohonannya. Sebelum menutup persidangan, Aswanto menyampaikan agar Pemohon menyempurnakan permohonan dan menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 8 Oktober 2019 ke Kepaniteraan MK. (Utami/LA)