JAKARTA, HUMAS MKRI - Mekanisme melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi (MK) secara sederhana Pemohon harus memenuhi dua hal yaitu permohonan dan bukti. Hal tersebut diungkapkan Peneliti MK Luthfi Widagdo Eddyono saat menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip).
“Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam dua belas rangkap,” kata Luthfi kepada para mahasiswa FH Undip yang berkunjung ke MK pada Rabu (25/9/2019).
Selain itu, permohonan memuat identitas Pemohon, uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian jelas anggapan Pemohon tentang hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji dan kemudian juga alasan permohonan. Terakhir adalah petitum agar mengabulkan permohonan Pemohon, menyatakan undang-undang yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Sedangkan sistematika permohonan, cara paling mudah bisa melihat susunan penulisan di bagian duduk perkara putusan MK. Carilah contoh putusan MK yang bagus, kalau bisa yang dikabulkan. Alternatif lain, bisa konsultasi ke MK mengenai cara pembuatan permohonan,” jelas Luthfi.
Selanjutnya, Luthfi menjawab pertanyaan mahasiswa mengenai perbedaan antara judicial review dan judicial preview. Judicial review adalah melakukan pengujian undang-undang setelah undang-undang dibentuk. Sedangkan judicial preview adalah melakukan pengujian undang-undang sebelum undang-undang dibentuk.
Luthfi menjelaskan ada tiga konsep pengujian undang-undang. Pertama, dilakukan oleh Mahkamah Agung seperti Amerika Serikat. Kedua, dilakukan oleh lembaga tersendiri yakni Mahkamah Konstitusi. Ketiga, konsep judicial preview.
“Perancis menerapkan judicial preview, ada komisi konstitusi di sana yang menguji layak tidaknya sebuah undang-undang sebelum dibentuk. Namun judicial preview memiliki kelemahan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman,” imbuh Luthfi.
Dalam pertemuan itu, Luthfi menerangkan amendemen UUD 1945 yang sudah dilakukan sebanyak empat kali pada 1999, 2000, 2001, 2002. Sebelum amendemen UUD 1945 disebutkan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara dan Presiden menjadi mandataris MPR. Namun setelah dilakukan amendemen UUD 1945, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan antara Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sejajar.
“Selain itu pasca perubahan UUD 1945 adalah lembaga negara yang dihilangkan. Misalnya, Dewan Pertimbangan Agung. Kemudian muncul lembaga negara baru yakni Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Yudisial,” ucap Luthfi.
Dikatakan Luthfi, sebelum perubahan UUD 1945, pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia hanya berada di Mahkamah Agung dan peradilan-peradilan yang ada di bawahnya. Kemudian setelah perubahan UUD 1945, pelaku kekuasaan kehakiman berada pada Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pada 13 Agustus 2003.
Lebih lanjut Luthfi menyinggung empat kewenangan MK dan satu kewajiban MK. Kewenangan pertama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela. (Nano Tresna Arfana/NRA).