SENTUL, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto mengatakan bahwa menjadi warga negara yang baik tidaklah sulit. “Siapa sebenarnya yang menjadi warga negara yang baik? Menurut standar negara kita, warga negara yang baik adalah yang melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana yang dituangkan dalam konstitusi kita,” ujar Aswanto dalam penutupan Kegiatan Peningkatan Pemahaman Konstitusi Bagi Organisasi Profesi se-Indonesia pada Jumat (20/9/2019) di Sentul, Bogor.
Aswanto melanjutkan, salah satu hak warga negara adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi apabila hak konstitusionalnya merasa dirugikan. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 bahwa ketika ada warga negara Indonesia yang merasa dirugikan dengan lahirnya suatu undang-undang atau lahirnya norma dalam undang-undang, dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi.
“Bagaimana mekanisme keberatannya? Bisa mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Pasal 51C UU MK, semua warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan boleh mengajukan permohonan judicial review terhadap norma yang merugikan itu. Dengan harapan, kalau permohonan itu dikabulkan, maka kerugian atau potensi kerugian konstitusional bisa hilang,” urai Aswanto.
Lebih lanjut Aswanto menanggapi keberadaan Pancasila di Indonesia. “Kalau kita menengok kembali pelajaran SMA, saya paling suka protes kepada ayah saya yang menjadi guru. Ayah saya mengatakan Pancasila adalah asli Indonesia. Saya mengkritisi, Pancasila itu sebenarnya bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Bugis, bahasa Jawa atau bahasa Sansekerta? Ayah saya bilang, Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta. Secara semantik, Pancasila memang berasal dari Sanskerta,” tutur Aswanto.
Aswanto bersikukuh Pancasila bukan asli Indonesia. Lalu ayahandanya menegaskan bahwa apa yang terkandung dalam Pancasila adalah budaya bangsa Indonesia meskipun secara semantik Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta.
Sementara itu Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Kurniasih Panti Rahayu mengatakan bahwa MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk pada masa reformasi, setelah dilakukan amendemen UUD 1945. Keberadaan MK dimaksudkan sebagai bagian dari penataan sistem ketatanegaraan berupa pelaksanaan agenda reformasi. “MK sangat mengapresiasi dengan kehadiran 79 organisasi profesi yang hadir dalam acara ini melalui pertanyaan, pernyataan, saran maupun kritik terkait penyelenggaraan acara yang digelar MK ini,” kata Kurniasih.
Kurniasih melanjutkan, kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya MK dalam rangka menegakkan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi. “Para profesional di bidangnya masing-masing merupakan salah satu stakeholder yang memiliki peranan penting dalam agenda pembangunan hukum nasional. Kegiatan ini merupakan upaya yang dilakukan MK untuk membangun budaya hukum yang baik, sebagai cara untuk mengimplementasikan demokrasi hukum,” ungkap Kurniasih.
Sedangkan Ketua Umum Masyarakat Ahli Survei Kadaster Indonesia, Bambang Gatot Nugroho menyatakan rasa bangga tapi juga grogi ketika akan bergabung dalam kegiatan MK. “Ketika kami pertama kali dihubungi Mahkamah Konstitusi, jujur kami katakan bahwa selain ada rasa bangga, ada juga rasa takut. Kami selama ini kami menganggap Mahkamah Konstitusi itu ibarat menara gading yang sangat tinggi dengan sinar cahaya kewibawaannya,” ucap Bambang.
Namun setelah Bambang dan rekan-rekan mengikuti Kegiatan Peningkatan Pemahaman Konstitusi Bagi Organisasi Profesi se-Indonesia, ternyata Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah sebuah institusi yang moderen, egaliter, sangat terbuka. Bahkan Mahkamah Konstitusi melalui lamannya sangat terbuka memberikan informasi sesuai yang dibutuhkan masyarakat pencari keadilan.
“Selain itu MK sangat terbuka menerima kritik dan saran dari para peserta. Juga ketika kami memasuki materi kegiatan, sejujurnya materi yang berkaitan dengan konstitusi yang semula terkesan membosankan, setelah dikemas sedemikian rupa menjadi enak untuk dicerna,” tandas Bambang. (Nano Tresna Arfana/NRA).