TANGERANG, HUMAS MKRI - Pascaperjanjian damai akibat genosida, Bosnia membutuhkan waktu untuk menentukan falsafah negara. Berpedoman pada Perjanjian Dayton, maka pemerintah baru Bosnia yang terdiri atas tiga etnis, yakni Bosnia, Serbia, dan Kroasia, harus sama-sama membentuk badan-badan negara serta berjuang untuk mengembalikan rakyatnya yang hampir 50% tersebar sebagai pengungsi. Hal ini disampaikan oleh Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Bosnia-Herzegovina (MK Bosnia-Herzegovina) Joseph Marko dalam pertemuan “The 1st International Expert Meeting 2019”, pada Sabtu (21/9/2019) di Serpong, Tangerang.
Dalam diskusi ahli hukum tersebut, Marko menceritakan bahwa pada 1996 negaranya membentuk lembaga peradilan dengan melibatkan beberapa negara besar di Eropa. Akhirnya, terpilihlah hakim-hakim dengan pembagian kekuasaan secara partisipatif. Usai perdamaian perang ini, MK Bosnia-Herzegovina harus menghadapi permasalahan besar karena sebanyak 75% dari jumlah penduduknya pengangguran. Sebagai negara yang merupakan penggabungan dari beberapa daerah federasi, maka MK Bosnia-Herzegovina pun dalam strukturnya terdiri atas hakim dalam negeri yang terdiri atas tiga entitas dan ada pula hakim internasional. Terkait dengan kewenangan lembaga, MK Bosnia-Herzegovina dalam tugasnya berhak menyelenggarakan peradilan untuk menangani perkara perdata dan pidana pada tingkat akhir.
“Jadi, pada MK kami orang dapat melakukan pengajuan undang-undang dan dapat juga melakukan permasalahan yang berkaitan degan hak asasi manusia,” jelas Marko yang dalam paparannya didampingi oleh Imogen Canavan dari Max Planck Foundation, Jerman.
Konflik Interpretasi
Melalui makalah berjudul “The Role of the Judiciary to Promote Social Justice in a Society in Transition: the Experience of Bosnia-Herzegovina” ini, Marco memaparkan kerumitan dirinya sebagai salah satu mantan hakim yang terlibat dalam merekonstruksi berbagai aturan hukum klasik yang menjadi pedoman bagi Bosnia-Herzegovina dalam menjalankan aturan hukum dan konstitusinya. Bahkan, diakui Marko, hingga saat ini pun negaranya masih belum bisa terlepas dari bantuan luar negeri untuk beberapa hal, seperti kebutuhan hakim, penanggulangan diskriminasi etnis, dan lainnya.
Bahkan saat menjalani jabatan sebagai hakim, Marko pun berkisah jika dirinya pernah beberapa kali konflik interpretasi dalam menafsirkan berbagai aturan perundang-undangan yang dibuat lembaga legislatif. Menurut pengamatan Marko, hal ini terjadi karena masih kentalnya masalah-masalah yang diskriminasi akibat perbedaan etnisitas yang masih mengakar pada hakim-hakim yang ada di dalam institusi tersebut.
Seperti diketahui, dalam kegiatan yang digelar selama dua hari ini (20 – 21/9/2019) ini hadir sebagai pemateri yakni Mahkamah Konstitusi Periode 2013 – 2015 Hamdan Zoelva dan para narasumber dari negara sahabat, di antaranya Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French, Universitas Johannesburg, Afrika Selatan Hennie Strydom, Hakim Mahkamah Agung India Indu Maholtra, akademisi Universitas Kathmandu sekaligus Penasihat Hukum Konstitusi untuk Presiden Nepal Surya Dhungel. (Sri Pujianti/LA)