Istilah "liberalisasi terbatas dan terukur" menjadi pembenar pengesahan UU Pelayaran. Sudah saatnya Indonesia memberdayakan laut yang memeluk dua per tiga wilayah negeri ini.
Suara teriak-teriak "tolak-tolak" itu terdengar sampai ke mulut pintu masuk Gedung Nusantara I Dewan Perwakilan Rakyat. Si empunya suara, ribuan demonstran, tertahan di pagar depan gedung itu. Mereka adalah massa dari Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia (SPPI).
SPPI khawatir, jika kran pengelolaan pelabuhan dibuka, asing bakal masuk. Dan, itu sama halnya dengan liberalisasi. Maklum, para demonstran adalah karyawan Pelindo, BUMN yang kini punya hak tunggal mengelola pelabuhan. Tak pelak, mereka menolak pengesahan Undang-Undang Pelayaran, yang sedang dibahas di tingkat dua pada Sidang Paripurna, Selasa (8/4).
Sayang, penghuni Senayan seolah tak peduli pada gembar-gembor di luar sana. Juru bicara asal Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Abdullah Azwar Anas memberi istilah "liberalisasi terbatas dan terukur". "Sumber ekonomi dan hajat hidup rakyat tetap dikuasai oleh negara. Tapi, dalam operasionalnya, bisa oleh negara atau pihak lain. Sepanjang tetap diatur alias dikuasai oleh negara," ungkapnya membacakan sikap fraksi.
Pelindo, perusahaan plat merah itu, dirasa semakin lamban memberi pelayanan. Waktu tunggu kapal di pelabuhan saja 16 jam. Bagai disandra seharian. Padahal, waktu tunggu kapal di Singapura cukup dua jam. Dengan dibukanya kompetisi, pelayanan bakal meningkat mutunya. Monopoli Pelindo akan dilepas perlahan, sesuai UU ini, tiga tahun kemudian. Sayang, para Direksi Pelindo yang juga menyimak jalannya sidang tak satu pun yang mau berkomentar.
Juru bicara dari Fraksi Partai Golkar Josef Andreanus Nae Son mencatat saat ini ada 1889 pelabuhan. Sebanyak 112 di antaranya dikelola oleh BUMN "Pelindo. Andreanus mendukung dihapusnya monopoli ini. "Pelabuhan baru akan ditangani oleh Otoritas Pelabuhan. Fraksi kami mendukung pengelolaan oleh otoritas ini secara komersil," pekiknya.
Ketua Komisi V DPR (bidang infrastruktur dan perhubungan) Ahmad Muqowam melaporkan, UU Pelayaran anyar terdiri dari 22 bab dan 355 pasal. Ada penggelembungan jika dibanding dengan UU Pelayaran lawas, UU 21/1992, yang terdiri dari 17 bab dan 164 pasal.
Hanya fraksi banteng moncong putih yang sedikit membela Pelindo. Meski tak menolak, atau setidaknya membubuhkan catatan keberatan (minderheitsnota), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meminta uji publik atas klausul dibukanya kran pengelolaan pelabuhan ini. "Memang harus ada pemisahan peran antara regulator dan operator. Namun kita harus tetap berikan perhatian khusus pada BUMN," ujar juru bicara Rendy Lamajido. Uji publik ini, menurut Rendy, untuk memastikan kedaulatan ekonomi.
Menteri Perhubungan Jusman Syafii Jamal menegaskan, UU ini sudah mengakomodasi semua pihak. Pemberdayaan pelabuhan nasional ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing di era global. Makanya, Jusman menegaska, Pelindo tak perlu khawatir. Jusman selanjutnya bertugas membikin delapan Peraturan Pemerintah. Di antaranya tentang kepelabuhanan, kenavigasian, kesejahteraan awak kapal dan keselamatan penumpang.
Insentif Perbankan
Juru bicara asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abu Bakar Al Habsyi mengingatkan, dari total kapal yang berseliweran di perairan Indonesia, 95 persen adalah kapal asing. Mereka melayani angkutan barang ekspor-impor.
Maklum, para pengusaha kapal domestik masih terkendala modal usaha. "Pendanaan dari perbankan mulai kini bisa menerima kapal sebagai barang hipotek atau agunan untuk kredit usaha," ujarnya.
Bisnis di perairan ini gede juga. Perdagangan lewat jalur maritim menghasilkan nilai AS$1.300 dolar setahun. Setara 27 kali lipat APBN Indonesia. Sayangnya, Indonesia masih belum banyak bicara soal itu. Malah, saban tahunnya, menurut Azwar Anas, Indonesia kudu bayar armada asing AS$10 miliar devisa negara.
Untuk itu, UU ini mengamanatkan asas cabotage. Artinya, setiap kapal yang berseliweran di perairan Indonesia kudu mengerek bendera merah-putih. Inilah peluang bisnis bagi industri perkapalan dalam negeri. Sayang, saat ini perbankan masih mematok suku bunga komersil tinggi, 18%. Bandingkan dengan Jepang yang hanya memberlakukan 2,5 persen suku bunga kreditnya.
Juru bicara Fraksi Partai Damai Sejahtera Sonny Maplau berharap UU ini juga dapat mendorong industri pariwisata bahari. Nah, memang seharusnya sebagai negara maritim, Indonesia dapat menemukan kejayaannya di atas laut biru. (Ycb)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id