TANGERANG, HUMAS MKRI—Pengakuan atas hak asasi manusia (HAM) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Reformasi 1998. Pada saat itu, Indonesia mengalami perubahan sistem ketatanegaraan yang fundamental. Momentum ini juga menandai perubahan ketentuan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia. Untuk memenuhi tuntutan Reformasi mengenai pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang berisi hak-hak sipil, politis, ekonomi, sosial, dan budaya. Ketetapan tersebut merupakan pengejawantahan agenda Reformasi untuk memenuhi tuntutan perubahan Indonesia menjadi negara demokrasi konstitusional.
Hal ini dikemukakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku pembicara dalam The 1st International Expert Meeting 2019 bertema “Peran Lembaga Peradilan untuk Memajukan Keadilan Sosial serta Melindungi Hak Ekonomi dan Sosial” pada hari Jumat (20/9/2019) di Tangerang. Dalam makalah mengenai “Pengakuan Mahkamah Konstitusi atas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,” Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa setelah amendemen UUD 1945, Pemerintah Indonesia pun kemudian mulai menata legislasi agar sesuai dengan HAM dalam UUD 1945.
“Tidak mudah melakukan penataan legislasi agar sesuai dengan HAM yang tercantum dalam UUD 1945. Legislasi telah direncanakan untuk jangka panjang, tetapi tidak sampai pada produk-produk hukum di daerah,” ungkapnya mengenai kendala dalam perencanaan legislasi nasional. Enny mengapresiasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak sipil warga negara (WNI), yang menandakan bahwa Indonesia sudah sangat demokratis. Akan tetapi, ia menambahkan bahwa hal itu tidak cukup karena untuk menjadi manusia seutuhnya, hak ekonomi, sosial, dan budaya harus dipenuhi.
Batas Usia Perkawinan
Dalam pemaparannya, Enny menyoroti salah satu isu hangat di Indonesia terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai larangan terhadap perkawinan anak. Ia menjelaskan Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkara ini diajukan oleh beberapa wanita yang dipaksa menikah di bawah umur karena faktor ekonomi dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dalam perkara ini, MK memutus bahwa ketentuan batas usia perkawinan bagi wanita pada usia 16 tahun adalah inkonstitusional dan MK memerintahkan pembentuk UU untuk merevisi UU Perkawinan dalam 2 tahun sehingga batas usia perkawinan untuk wanita menjadi 19 tahun.
Baru-baru ini DPR dan pemerintah sepakat merevisi batas usia perkawinan menjadi 19 tahun,tetapi hal ini sudah dilakukan dilakukan oleh beberapa daerah seperti Provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat bahkan sebelum putusan MK dijatuhkan. Revisi ini akan membantu Indonesia mewujudkan kesepakatan agenda pembangunan universal dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development Goals (SDG), yang salah satu tujuannya adalah menghapus perkawinan anak.
Menanggapi makalah ini, Hakim Konstitusi Manahan M. P. Sitompul mengajukan pertanyaan mengenai pengecualian batas usia perkawinan dengan diperbolehkannya anak perempuan menikah di bawah umur jika ada ketetapan pengadilan. Menjawab pertanyaan ini, Enny menyatakan bahwa dispensasi ini harus dihilangkan. Selain itu, sebagai fasilitator diskusi Dr. Bertus de Villiers dari Universitas Curtis Australia melihat bahwa tingginya kepercayaan publik terhadap MK di Indonesia daripada kepercayaan publik terhadap parlemen sangatlah menarik. Hakim Saldi Isra pun menyatakan bahwa hal ini mendorong parlemen Indonesia (DPR) untuk melaksanakan putusan penting MK, seperti putusan mengenai batas usia perkawinan.
Kegiatan 1st International Expert Meeting 2019 yang diadakan Jumat-Sabtu (20-21/9/2019) ini dihadiri sembilan hakikm konstitusi MK, Panitera Pengganti MK, Peneliti MK, serta Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva. Turut hadir pula pembicara dari negara sahabat, yaitu Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French, Hakim Mahkamah Agung India Indu Maholtra, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Bosnia-Herzegovina Joseph Marko, Penasihat Hukum Konstitusi untuk Presiden Nepal Surya Dhungel, Prof. Hennie Strydom dari Universitas Johannesburg Afrika Selatan. (Yuniar W/LA)