BANJARMASIN, HUMAS MKRI – Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menjadi narasumber dalam seminar nasional dengan tema “Hak-Hak Perempuan dan Pluralisme Hukum” di Audiitorium Idham Zarkasi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada Jumat (20/9/2019).
Dalam pemaparannya, Fajar mengatakan bahwa dari perspektif konstitusi pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Konstitusional warga negara termasuk hak perempuan sudah selesai dalam arti semua hak sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Akan tetapi, masalah yang sering dialami di Indonesia serta beberapa negara yang menganut prinsip demokrasi konstitusional adalah bagaimana memindahkan norma ideal dalam konstitusi ke dalam tataran implementasi. Boleh dikatakan bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang demokratis karena memuat 2 hal, yaitu pembatasan kekuasaan dan adanya jaminan atas HAM. Sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land), sudah seharusnya konstitusi ditaati oleh seluruh warga negara serta ditegakkan melalui proses legislasi dan ajudikasi konstitusional melalui MK. “Di dalam 2 hal inilah tantangan kita ke depan untuk lebih memajukan, di samping adanya pluralisme hukum, hak konstitusional terutama untuk kaum perempuan,” ujarnya.
Jika proses pembentukan legislasi sesuai dengan prosedur dan sesuai dengan aspirasi rakyat dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara termasuk perempuan maka konstitusi akan menjadi tegak. Sebaliknya, kalau ada undang-undang yang masih dianggap merugikan atau melanggar hak-hak perempuan, maka jalan ajudikasi konstitusional dapat ditempuh melalui pengujian undang-undang di MK. Sebagai peradilan konstitusi yang terbuka, para akademisi dan NGO dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan sebagai pihak terkait untuk ambil bagian dalam diskusi atau perdebatan. Dalam beberapa putusannya, MK telah melakukan upaya berkontribusi terhadap penegakan hak-hak konstitusional kaum perempuan. “Melalui proses ajudikasi konstitusional ini, beberapa kali sudah dibuktikan bahwa hak konstitusional perempuan menjadi perhatian besar bagi MK,” jelas Fajar.
Kontroversi KUHP
Selanjutnya, narasumber kedua Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyampaikan paparannya terkait dengan kontroversi aturan hukum yang hidup di masyarakat, yaitu aturan hukum yang berlaku pada masyarakat tertentu dan tidak diatur dalam Undang-Undang KUHP. Menurutnya, ada 2 tahapan dalam hukum pidana adat ke dalam KUHP yaitu memasukkan hukum pidana adat ke dalam peraturan daerah serta kompilasi peraturan daerah yang akan dilakukan oleh Pemerintah. “Kalau tidak diakui oleh Pemerintah dan DPR, maka itu bukan hukum pidana adat yang diakui,” jelasnya. Sebagai penutup pemaparannya, Asfinawati mengimbau para peserta seminar nasional untuk membaca dan mencermati Rancangan UU tentang KUHP karena terdapat beberapa aturan yang masih dapat diperdebatkan.
Konsep Gender
Sebagai pemateri ketiga, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Erlina mengangkat tema Pembentukan Hukum Responsif Gender, Dinamika dan Tantangannya. Menurutnya, jika dilihat dari konsep gender, ada 3 tipe peraturan perundang-undangan. “Ada peraturan perundang-undangan yang bias gender, ada peraturan perundang-undangan yang netral gender, dan ada peraturan perundang-undangan yang responsif gender, yang mengakomodir dan menjawab persoalan-persoalan perempuan,” jelasnya.
Erlina juga menambahkan bahwa budaya patriarki turut berperan dalam minimnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Hal ini tercermin dalam banyaknya peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan melalui stigmatisasi maupun domestifikasi. Erlina mencontohkan peraturan daerah yang melarang perempuan untuk keluar di malam hari. “Ketika negara tidak bisa memberikan jaminan perlindungan kepada perempuan, kenapa lalu perempuan yang didomestifikasi?” ujarnya.
Untuk melengkapi sudut pandang yang telah disampaikan sebelumnya, Irene Meuthia Putri seorang mahasiswi yang menjadi pembicara terakhir mengangkat tema peranan generasi muda dalam menghadapi budaya patriarki. Irene mengatakan bahwa cara untuk menghadapi budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat adalah berjuang (stand up) atau berbicara (speak up), baik secara lisan maupun tulisan. Menurutnya, generasi muda harus kritis terhadap peraturan-peraturan yang diskriminatif serta mencermati kejadian yang ada di sekitar mereka. “Pertanyaannya adalah maukah kita bersama-sama menghapuskan budaya patriarki ini?” pungkasnya.
Seminar nasional ini dihadiri sekitar 350 peserta yang terdiri dari mahasiswa serta pengajar di berbagai perguruan tinggi di Kalimantan Selatan serta praktisi hukum yang berada di Kota Banjarmasin. (YDJ/LA)