BANJARMASIN, HUMAS MKRI – “Kalau kita bicara mengenai pluralisme hukum, tidak bisa kita lepaskan dari aspek kesejarahan, yaitu adanya perbedaan suku, agama, kemudian budaya dan ras. Itu adalah bagian yang harus kita syukuri karena di tengah perbedaan yang sedemikian, kita tetap menjadi bangsa dengan bentuk susunan negara kesatuan. Hampir tidak ada negara di dunia ini yang memiliki perbedaan sedemikian rupa tapi tetap menggunakan sistem negara kesatuan”. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih ketika menjadi Pembicara Kunci (Keynote Speaker) dalam Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), pada Jumat (30/9/2019). Mengambil tema “Hak-Hak Perempuan dan Pluralisme Hukum”, seminar nasional ini dihadiri langsung oleh Dekan Fakultas Hukum ULM Abdul Halim Barakatullah, Ketua YLBHI Asfinawati, sivitas akademika Fakultas Hukum ULM, praktisi hukum di Kota Banjarmasin serta jajaran Kantor Wilayah Kalimantan Selatan Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam penyampaiannya, Enny mengatakan bahwa pembangunan hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) Tahun 1973 yang menjadi titik awal arah pembangunan hukum nasional. Namun demikian, formulasi GBHN tersebut belum menyebutkan perihal pluralisme hukum serta Hak Asasi Manusia (HAM). Arah GBHN mengenai substansi pembangunan hukum baru mengalami perubahan ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang menjadi faktor pemicu pergeseran tatanan pemerintahan dari otoriter menjadi negara demokrasi konstitusional. Perubahan itu juga menjadi titik awal munculnya pengaturan mengenai HAM karena salah satu butir dari Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional adalah memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. “Jadi bisa dibayangkan jika tidak ada reformasi (pada) zaman itu, maka tidak aka nada forum seperti ini,” ujar Mantan Kepala Badan Pembangunan Hukum Nasional ini.
Enny juga menambahkan bahwa di dalam UUD 1945 sebelum dilakukannya amendemen, pengaturan HAM belum menjadi bagian integral di dalamnya. Hal tersebut berbeda dengan UUD 1945 pasca amendemen dan terjadi penguatan HAM melalui pembentukan Pasal 28A hingga Pasal 28J. Pasal-pasal tersebut mengatur sedemikian rupa hak sipil, politik, sosial, ekonomi termasuk hak atas pembangunan setiap individu di Indonesia tanpa membedakan suku, agama, keyakinan politik, jenis kelamin atau gender. “Jadi kalau ada pembedaan itu hanya pada tataran praktik atau implementasi karena tidak memaknai secara persis bagaimana yang dikatakan atau dimaknai dengan Hak Asasi Manusia itu,” ujarnya.
Di akhir ceramah kunci, Enny mengingatkan bahwa bangsa Indonesia harus mengubah cara berpikir kita bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hak asasi. Bahkan Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui UU Nomor 7 tahun 1984. Kenyataan bahwa masih terdapat peraturan daerah yang bersifat diskriminatif, menurut Enny, hal tersebut bisa jadi disebabkan belum tercipta pola pikir pada pembuat peraturan daerah tersebut akan kesetaraan gender. (YDJ/LA)