TANGERANG, HUMAS MKRI - Di banyak negara ada pemisahan antara kekuasaan peradilan, legislatif, dan eksekutif. Adapun keberadaan pengadilan tidak diharapkan untuk memutuskan kebijakan sosial ekonomi negara karena sejatinya hal tersebut adalah ranah dari badan legislatif dan eksekutif. Sehingga sudah sepatutnya permasalahan perlindungan hak ekonomi-sosial dan budaya ini harus memiliki batasan yang tegas dalam konstitusi setiap negara. Hal ini disampaikan oleh Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French selaku pembicara dalam The 1st International Expert Meeting 2019 yang digelar pada Jumat (20/9/2019) di Serpong, Tangerang.
Dalam kegiatan bertema “Peran Lembaga Peradilan Untuk Memajukan Keadilan Sosial serta Melindungi Hak Ekonomi dan Sosial” ini, Robert memaparkan materi berjudul “The Challenges for the Courts to Promote Social Justice – Striking Balance between ‘Maker’ of Law and ‘Declarer’ of Law.” Menurutnya, pengadilan tidak dapat menghindar dari permasalahan perlindungan sosial-ekonomi yang dijamin dalam konstitusi nasional. Padahal, bahasa dari konstitusi sangat mungkin diekspresikan secara luas. “Jadi, jika ada pengadilan di mana pun itu menilai keabsahan hukum melanggar hak sosial atau ekonomi yang terjamin jelas maka harus bertanya pada dirinya sendiri,” jelas Robert yang dalam pemaparannya difasilitatori oleh Imogen Canavan dari Max Planck Foundation, Jerman.
Sebagai contoh kasus, Robert mempersandingkan Mahkamah Agung India dan Pengadilan Tinggi Australia. Dalam pandangan Robert, Mahkamah Agung India salah satu contoh pengadilan nasional yang proaktif karena peradilannya mampu dan siap menangani berbagai hal permasalahan publik. Bahkan pada ranah pengadilannya pun hak individu dapat diajukan sebagai sebuah permasalahan yang berdampak pada keputusan pemerintahnya dalam membuat sebuah kebijakan negara. “Maka Mahkamah Agung India telah aktif dalam mempromosikan keberadaan hak sosial dan ekonomi, meskipun ditemui berbagai masalah yang beririsan dengan fungsui lembaga lain dalam penyelesaian permasalahan ini,” jelas Robert.
Sedangkan di Australia, keberadaan lembaga peradilan tidak akan diperkenankan untuk memangani terkait hak-hak sipil dan politik atau sosial dan ekonomi masyarakat. Pengadilan di Autralia tidak diberikan fungsi non-yudisial meskipun independensinya dilindungi. “Aturan hukum yang diterapkan pengadilan Australia dapat ditemukan dalam Konstitusi, undang-undang, dan aturan umum yang dibuat oleh hakim yang ada pada pengadilan sesuai dengan operkembangan dan penafsiran dari hakim yang menjabat di peradilan tersebut,” jelas Robert.
Posisi Hakim
Kemudian, Robert juga menjelaskan sebuah keputusan yang dibuat peradilan adalah upaya akhir untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi dalam sebuah regulasi yang telah dibuat pemerintah yang diajukan pada peradilan. Namun kemudian hakim tidak terlibat dalam pelaksanaan putusan tersebut. Di samping itu, terkait dengan kinerjanya, hakim Australia miliki integritas yang paling tinggi dan sangat sedikit sekali hakim yang melakukan korupsi, jika pun ada pelanggaran hanya berupa keterlambatan dalam putusan.
Kegiatan pertemuan internasional ini digelar selama dua hari (20 – 21/9/2019) yang turut dihadiri sembilan hakim konstitusi MK, Panitera Pengganti MK, dan Peneliti MK serta turut hadir pula Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013 – 2015 Hamdan Zoelva. Pada kesempatan ini hadir pula pembicara dari negara sahabat, di antaranya Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French, Universitas Johannesburg Afrika Selatan Hennie Strydom, Hakim Mahkamah Agung India Indu Maholtra, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Bosnia-Herzegovina Joseph Marko, Universitas Kathmandu sekaligus Penasihat Hukum Konstitusi untuk Presiden Nepal Surya Dhungel. (Sri Pujianti/LA)