TANGERANG, HUMAS MKRI - Pembatasan hak asasi dalam UUD 1945 sebagai Konstitusi tercantum secara jelas. Dalam UUD 1945, mengenai hak ekonomi sosial dan budaya warga negaranya tertuang dalam Pasal 28A hingga Pasal 33 UUD 1945. Pasal-pasal inilah yang memuat jaminan negara dan hukum atas hak pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, kebutuhan pangan dan sandang serta pelestarian seni budaya. Hal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013 – 2015 Hamdan Zoelva dalam The 1st International Expert Meeting 2019. Acara yang mengangkat tema “Peran Lembaga Peradilan Untuk Memajukan Keadilan Sosial serta Melindungi Hak Ekonomi dan Sosial”ini diselenggarakan pada Jumat (20/9/2019) di Serpong, Tangerang Selatan.
Lebih lanjut, dalam paparan materi berjudul “Dinamika Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”, Hamdan menyebutkan bahwa dalam prinsip penyelenggaraan negara, Indonesia memiliki tujuan dan dasar negara yang pada hakikatnya melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Dalam pelaksanaan kehidupan negara, Indonesia juga memiliki landasan filosofi berupa Pancasila, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral, agama, dan ketertiban umum yang terejawantahkan dalam pemenuhan dan perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat dalam berbagai ketentuan undang-undang.
Terkait dengan keberadaan hak ini, MK yang sejak berdirinya hingga saat ini telah melahirkan berbagai putusan yang terkait dengan perjuangan warga negara untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya yang terlanggar dari ketentuan yang dibuat lembaga legislatif.
Sebagai contoh, sambung Hamdan, MK pernah menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam perkara ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengajukan agar adanya batasan bagi negara untuk terlibat dalam hukum adat yang telah ada dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat sebelum adanya konsep negara.
“Atas permohonan ini, MK mernyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dengan memberikan hal pada masyarakat hukum adat untuk membuka hutan ulayat untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarga,” sampai Hamdan di hadapan para narasumber dari negara sahabat dengan difasilitatori oleh Bertus De Villiers dari Curtin University, Australia.
Selanjutnya, Hamdan pun menguraikan beberapa contoh perkara yang pernah diajukan warga negara perseorangan maupun kelompok yang terkait dengan pemenuhan dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia seperti hak pengelolaan pulau-pulau kecil oleh nelayan tradisonal, hak pengelolaan air, hak pekerja outsourching, hak profesi tukang gigi, hak atas pendidikan tinggi, hak petani kecil mengembangkan varietas tanpa izin pemerintah, dan hak keperdataan anak di luar nikah.
Tidak Ada Kekuasaan yang Tidak Terbatas
Dalam kegiatan ini, selain penyampaian materi oleh pembicara dari dalam negeri terdapat pula pemateri, responden, dan fasilitator yang datang dari berbagai negara. Pada kesempatan ini, Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French membagikan pengalamannya bahwa di setiap lembaga baik itu lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif atau peradilan memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai konteks budaya masyarakat yang menaunginya. Dalam kedatangan kali keempatnya di Indonesia, Robert mengulas bahwa dalam pandangan hukumnya melihat kewenangan lembaga peradilan pada awalnya hanya dapat memberikan penilaian pada lembaga eksekutif dalam bentuk saran. Namun kemudian, setelah adanya amendemen, maka lembaga peradilan pun dapat melakukan pengujian terhadap aturan yang dibuat oleh lembaga eksekutif tersebut.
Sebagai contoh, sambung Robert, di Australia terdapat suatu aturan bahwa tidak adakekuasaan yang tidak terbatas karena ada batasan-batasan yang telah tertuang jelas dalam konstitusi. Selain itu, tidak ada pula kekuasaan eksekutif yang tidak terbatas. “Semua bisa saja ditinjau oleh peradilan apakah melampaui atau tidak setiap apapun produk yang dihasilkan lembaga tersebut, termasuk dalam perkara hak ekonomi, sosial, dan budaya,” jelas Robert dalam menanggapi pemaparan yang telah dijelaskan Hamdan.
Dua Kutub
Hal menarik terkait perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam kajian pertemuan internasional ini, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Bosnia-Herzegovina Joseph Marko menceritakan bahwa di dalam dunia peradilan terdapat dua kutub. “Di Austria sebuah lembaga peradilan termasuk hakimnya diberikan batasan jelas tentang politik dan hukum bahwa peradilan tidak boleh ikut campur dalam politik dan sebaliknya, sedangkan di Indonesia seperti yang saya dengarkan tadi bahwa peradilannya sangat aktif,” kisah Joseph.
Selain itu, Joseph juga menyampaikan pengalamannya bahwa saat ini di Eropa untuk pemenuhan dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat seperti hak atas air, pengelolaan kebutuhannya tidak dapat diprivatisasi seperti seperti yang ada di Indoensia.
“Jika ada yang ingin privatisasi, maka itu langsung ada revolusi karena ini persoalan penting bahkan dalam pemilu sering diungkapkan untuk memberikan pedoman bagi perusahaanswasta untuk masuk dalam pemberdayaan sumber daya air. Dengan menjadi mitra dengan pemerintah. Dan ini merupakan konsep baru yang berprinsip pada penggabungan kewenangan negara dan swasta di dalam sebuah kemitraan,” jelas Joseph.
Perlu diketahui, dalam kegiatan yang digelar selama dua hari ini (20 – 21/9/2019) hadir sembilan hakim konstitusi dan turut hadir pula Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013 – 2015 Hamdan Zoelva dan para narasumber dari berbagai negara sahabat, di antaranya Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Australia Robert French, Universitas Johannesburg Afrika Selatan Hennie Strydom, Hakim Mahkamah Agung India Indu Maholtra, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Bosnia-Herzegovina Joseph Marko, Universitas Kathmandu sekaligus Penasihat Hukum Konstitusi untuk Presiden Nepal Surya Dhungel. (Sri Pujianti/LA)