SENTUL, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Kegiatan Peningkatan Pemahaman Konstitusi Bagi Organisasi Profesi se-Indonesia pada 17-20 September 2019. Beragam materi disampaikan para narasumber dari MK maupun luar MK pada Rabu (18/9/2019) di Sentul, Bogor. Narasumber dari MK, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan materi “Kewenangan Judicial Review pada Mahkamah Konstitusi.”
“Judicial review bahasa sederhananya adalah pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tugas utama MK itu sebenarnya di sini, menguji undang-undang,” ujar Suhartoyo.
Sedangkan kewenangan dan kewajiban MK lainnya, jelas Suhartoyo, seperti memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil pemilu dan pemilukada, serta memutus pendapat DPR terkait pemakzulan Presiden merupakan kewenangan-kewenangan MK yang melekat meskipun diamanatkan oleh konstitusi namun bukan kewenangan utama MK. Karena ada Pemohon dan Termohon, ada pihak lawan, ada sengketa kepentingan dan sengketa hak.
“Sedangkan menguji undang-undang tidak ada lawan, tidak ada Termohon, yang diuji adalah norma. Kalau ada pihak DPR dan Pemerintah yang diundang MK hadir dalam sidang pengujian undang-undang, sifatnya hanya sebatas pemberi keterangan,” ucap Suhartoyo.
Dikatakan Suhartoyo, setiap orang berhak melakukan pengujian undang-undang apabila hak konstitusionalnya dirugikan. Misalnya, ketika seseorang ingin mendirikan organisasi dihambat karena berlakunya sebuah undang-undang. Ditambahkan Suhartoyo, dalam pengujian undang-undang ada yang bersifat formil dan materiil. Pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan persoalan prosedur. Sedangkan pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkaitan dengan materi, muatan, ayat, pasal dan seterusnya yang merupakan bagian dari undang-undang. Jadi substansi undang-undang yang dipersoalkan Pemohon.
Selain itu hadir Peneliti Senior MK Pan Mohamad Faiz menyajikan materi “Dinamika Konstitusi dan Konstitusionalisme”. “Kita sering mendengar kata Konstitusi dan Konstitusionalisme. Tapi apa sih sebenarnya Konstitusi? Konstitusi digunakan di banyak negara. Di Indonesia biasa disebut Undang-Undang Dasar. Namun Konstitusi lebih luas, bisa tertulis maupun tidak tertulis. Kalau Undang-Undang Dasar itu sudah dalam bentuk kodifikasi tertulis,” kata Faiz membuka pertemuan.
Faiz melanjutkan, intinya Konstitusi itu menyangkut tentang aturan praktik ketatanegaraan, hubungannya dengan negara atau pemerintah, warga negara serta kewajiban dan kewenangannya. “Yang ada dalam Konstitusi atau sering kita menyebut Undang-Undang Dasar hanya aturan-aturan pokok dan dasar,” kata Faiz.
Kemudian Faiz mengungkapkan nilai konstitusi menurut Karl Loewenstein. Ada kategori normatif, bahwa norma Konstitusi dipahami, diakui, diterima dan dipatuhi oleh subjek hukum dan berjalan dalam kenyataan. Lalu kategori nominal, bahwa norma Konstitusi tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan. Juga kategori semantik, bahwa norma Konstitusi hanya dihargai di atas kertas dan dijadikan jargon atau semboyan sebagai alat pembenaran belaka.
Faiz juga menerangkan tujuan konstitusi adalah untuk mencapai keadilan (justice) yang mencakup keseimbangan (balance), kepatutan (equity), dan kewajaran (proportionality). Selain itu, konstitusi bertujuan mencapai kepastian (certainty) yang meliputi ketertiban (order) dan ketenteraman. Tujuan konstitusi lainnya adalah kebermanfaatan (utility) yang mencakup kebergunaan dan kedamaian hidup bersama.
Berikutnya, ada pakar hukum tata negara Ni’matul Huda yang menampilkan materi “Sistem Penyelenggaraan Negara menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Di antaranya, Ni’matul menyinggung soal hubungan Presiden dan Pembantu Presiden. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, penyelenggara kekuasaan eksekutif adalah Presiden (single executive) yang dalam melaksanakan kewajiban, kewenangan, dan tugasnya dibantu oleh Wakil Presiden sesuai Pasal 4 Ayat (2) dan menteri-menteri negara sesuai Pasal 17 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
“Wakil Presiden dan Menteri adalah Pembantu Presiden. Dengan kata lain, hubungan antara Presiden dengan Wakil Presiden dan Menteri tidak bersifat collegial. Salah satu konsekuensinya, dalam praktik diterima pandangan bahwa yang bertanggung jawab adalah Presiden,” jelas Ni’matul.
Di samping itu, Ni’matul menjelaskan tentang Parlemen Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia menyebabkan susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional dari unsur keanggotaan MPR. Majelis tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar.
Lainnya, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan UUD 1945. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘supremasi parlemen’ dan sistem pembagian kekuasaan oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Kemudian dengan diadopsinya prinsip Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam Pasal 6A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban presiden tidak lagi dilakukan oleh MPR, tetapi langsung oleh rakyat.
Kegiatan Peningkatan Pemahaman Konstitusi Bagi Organisasi Profesi se-Indonesia juga diisi narasumber Yudi Latif dengan materi “Reaktualisasi Implementasi Pancasila”. Menurut Yudi, intensitas pembelajaran Pancasila selama era reformasi mengalami penurunan yang mengakibatkan kurangnya wawasan Pancasila di kalangan pelajar dan kaum muda, serta kurangnya efektivitas dan daya tarik pembelajaran Pancasila secara isi dan metodologi.
“Rendahnya tingkat kedalaman literasi masyarakat Indonesia secara umum yang berakibat menurunnya daya pikir dan nalar kritis. Pemahaman terhadap Pancasila belum sepenuhnya dikembangkan secara ilmiah baik melalui pendekatan intradisplin, multidisiplin, dan transdisiplin,” urai Yudi.
Narasumber berikutnya, Judhariksawan menyampaikan materi “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dikatakan Judhariksawan, ada seperangkat hak warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Di antaranya, melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat..
Selain itu, kata Judhariksawan, menyelenggarakan negara berdasarkan kedaulatan hukum sesuai Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai Pasal 18B UUD 1945, melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia sesuai Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 serta menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu sesuai Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
Lainnya, konstitusi mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara melalui tentara nasional sesuai Pasal 30 Ayat (3) UUD 1945, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum melalui kepolisian negara sesuai Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, membiayai pendidikan dasar sesuai Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945 dan seterusnya.
(Nano Tresna Arfana/NRA)