JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejak awal MK berdiri, Ketua MK periode pertama, Jimly Asshiddiqie, telah mencanangkan visi MK sebagai lembaga peradilan yang modern dan terpercaya. “Itulah yang men-triger kami sehingga kami mencoba untuk mewujudkan cita-cita Ketua MK dan para Hakim Konstitusi periode pertama.”
Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah saat menerima kunjungan studi banding dari Ombudsman dan Pupuk Indonesia Holding Company, Rabu, (18/9/2019) di Ruang Rapat Lantai 11 Gedung MK. Dari Ombudsman hadir Suganda Pandapotan Pasaribu (Sekretaris Jenderal Ombudsman RI) didampingi para kepala biro, kepala bagian, dan kepala subbagian di lingkungan Ombudsman RI. Kemudian dari Pupuk Indonesia Holding Company, hadir Mardiyanto (Senior Vice President/General Manager TI) dengan didampingi para staf.
Kegiatan studi banding ini, sebagaimana disampaikan oleh Suganda Pandapotan Pasaribu adalah dalam rangka mempelajari beberapa sistem aplikasi yang digunakan MK, terutama Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SIKD). “Kami ingin belajar mengenai sistem yang ada (di MK), mungkin dengan sistem inilah yang nanti akan coba kami bangun,” kata Suganda.
Selanjutnya, Mardiyanto dari Pupuk Indonesia menyampaikan maksud kunjungannya ini adalah untuk mengenal lebih dalam mengenai SIKD. “Dokumen di tempat kami itu banyak, dan sifatnya fisik, sehingga kami perlu inovasi,” kata Mardiyanto.
Pada kesempatan ini Sekjen MK M. Guntur Hamzah menyampaikan paparan berjudul, “Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SIKD): Dari Mitos ke Etos.” Di hadapan para kepala biro, kepala bagian dan pejabat fungsional di lingkungan MK serta para peserta studi banding, Guntur memaparkan beberapa sistem aplikasi di Lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, antara lain Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SIKD), E-Planning, E-Budgeting, E-Procurement, dan Reformasi Birokrasi.
Guntur bertutur, Sistem Informasi Kearsipan Dinamis berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (SIKD-TIK) merupakan sistem yang dibangun oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai sarana pengelolaan arsip dinamis. Lalu MK mengadopsi sistem itu. Membangun SIKD bukanlah hal yang mudah karena mind set (pola pikir) dan culture set (budaya) yang masih konvensional. Berbagai hambatan harus dilalui MK untuk menerapkan sistem ini. “Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang tentunya sarat dengan dokumen yang harus valid, sahih, otentik, original. Itulah hambatan yang harus kami lalui,” jelas Guntur.
Guntur menyadari bahwasanya MK merupakan lembaga peradilan yang sarat dengan hal-hal yang sifatnya rahasia. Namun ia merasa diingatkan oleh seorang filsuf, Jeremy Bentham, yang mengatakan, “Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat “hakim” diadili saat ia sedang mengadili.”
“Kita ini sebenarnya hakim dalam hal melaksanakan pekerjaan-pekerjaan, karena suatu waktu kita akan mengambil putusan-putusan. Sekecil apapun putusan itu adalah sebuah langkah yang harus dibuka, harus diketahui,” papar Guntur.
Hal tersebut menjadi filosofi keterbukaan bagi MK. Maka tak mengherankan jika ada media yang menyebut MK ibarat “rumah kaca”. “Apa artinya, semua bisa diketahui,” tambah Guntur.
Melanjutkan paparan, Guntur menjelaskan tentang SIKD pengelolaan dokumen/arsip sejak penciptaan hingga penyusutan arsip yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Tujuan penggunaan SIKD antara lain yaitu menjamin keselamatan dan keamanan arsip sebagai bukti pertanggungjawaban nasional; menjamin penemuan kembali arsip dapat dilaksanakan secara cepat, mudah dan efektif serta efisien.
Sedangkan dasar hukum SIKD yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Pasal 5 dan 11); Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Pasal 38 ayat (3)); Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik; Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik; dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 239K/TUN/KI/2017, Greenpeace Indonesia Vs. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Guntur mengungkapkan, sejak MK menggunakan SIKD pada Mei 2017 hingga awal Februari 2019, jumlah naskah/arsip yang masuk dalam SIKD sebanyak 11,000-an naskah dinas yang terdiri dari 5,200 surat masuk dari luar MK dan 6,000-an nota dinas yang dibuat oleh unit kerja.
Selain itu hal yang tak kalah penting diungkap Guntur menyangkut manfaat yang didapat dari penggunaan SIKD. Dampak positif penggunaan SIKD di lingkungan MK antara lain, penggunaan kertas berkurang (Less Paper Office), Pencarian dokumen menjadi lebih cepat, mengurangi penumpukan kertas di meja, mempercepat proses koordinasi dalam organisasi. (NRA).