JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/9/2019). Pemohon diwakili kuasa hukumnya, Victor Santoso Tandiasa dan Yohanes Mahatma Pambudianto.
“Dalam kedudukan hukum Pemohon ada tambahan akta notaris yang memuat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Pemohon sebagai lembaga pemantau pemilu,” kata Victor kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Selain itu dalam permohonan, Pemohon melakukan perbaikan dengan melakukan penambahan pernyataan Perludem bahwa penyelenggaraan pemilu serentak di Indonesia merupakan sistem pemilu terumit di dunia. Dalam petitum, Pemohon meminta MK agar memisahkan penyelenggaran Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif. Artinya, pemilu Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif tidak digelar serentak.
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh tujuh Pemohon yang berasal dari berbagai profesi dan badan hukum. Para Pemohon, di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu, M. Faesal Zuhri, dan Ronaldo Heinrich Herman. Dalam perkara ini, para Pemohon mendalilkan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu yang berbunyi, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional,” dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, “Pemungutan Suara Pemilu diselenggarakan secara serentak”.
Materi UU Pemilu yang diujikan para Pemohon adalah sepanjang kata “serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Menurut para Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.
Yohanes saat menyampaikan alasan permohonan menyebutkan ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur perihal penyelenggaraan pemilu seharusnya membawa kemaslahatan bagi rakyat dan tidak boleh merugikan kepentingan rakyat khususnya menyangkut nyawa manusia. Berpedoman dari kondisi sosial dan fenomena masyarakat saat terselenggaranya Pemilu Serentak 2019 dinilai pihaknya sangat berat dan memiliki tekanan yang cukup tinggi karena adanya penggabungan penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif. Bahkan, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) mencatat 544 orang petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 3.788 orang jatuh sakit. (Nano Tresna Arfana/NRA).