KATHMANDU - Hari ini untuk kali pertama Nepal mengadakan pemilihan umum. Pemilu itu menjadi batu sejarah perubahan sistem negeri di lereng Pegunungan Himalaya tersebut dari monarki menuju demokrasi.
Raja Gyanendra, yang bisa jadi akan menjadi raja terakhir Nepal, terlihat paling antusias menghadapi pemilu. Dia bahkan mendorong rakyatnya untuk berbondong-bondong menuju tempat pemilu guna memberikan suara mereka.
"Kami mengundang seluruh warga negara yang sudah dewasa untuk berlatih mewujudkan hak demokratis mereka dalam suasana yang bebas dan adil," kata Gyanendra. Seruan itu tergolong istimewa karena selama ini, sebagai raja, Gyanendra jarang berpidato.
Gyanendra sepertinya menyadari bahwa takhta kerajaan berusia 240 tahun yang diwarisinya tidak mungkin lagi dia pertahankan. Dia merasa tidak mungkin lagi menghindar dari pengaruh demokrasi setelah partai-partai utama negeri itu bergabung dengan kelompok pemberontak Maoist untuk mengadakan unjuk rasa besar-besar secara nasional pada 2006.
Aksi tersebut berhasil menghentikan kekuasaan monarki yang digenggam Gyanendra dengan terbentuknya pemerintahan sementara. Pemerintah sementara itulah yang akhir Desember 2007 mengadakan pertemuan dan menyepakati pelaksanaan pemilu hari ini.
Analis politik Nepal Bhasker Gautam menilai seruan raja itu sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang demokratis. "Raja mencoba mempertahankan ruang politisnya dengan berusaha menunjukkan bahwa dia memperhatikan rakyat," ulas Gautam.
Gyanendra naik takhta pada 2001 dalam situasi tragis dan agak unik. Takhta itu seharusnya diduduki sang keponakan. Namun, sang keponakan yang pemabuk tersebut tiba-tiba membantai sebagian besar anggota keluarganya dan kemudian bunuh diri. (AFP/ruk)
Sumber www.indopos.co.id
Foto http://www.smh.com.au/news/world/history-in-the-making-in-nepal-elections/2008/04/09/1207420485597.html