YOGYAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam rangka menegakkan Konstitusi sekaligus mengambil bagian dalam pemberantasan korupsi, Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan Festival Konstitusi dan Anti Korupsi Tahun 2019. Kegiatan yang mengambil tema “Ukirkan Jejak integritasmu! Wujudkan Sadar Konstitusi Dan Budaya Anti-Korupsi” tersebut dilaksanakan pada Selasa – Rabu (10-11/9/2019) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kegiatan tahunan ini digelar guna memastikan bahwa generasi muda sudah memiliki modal untuk dititipi masa depan bangsa ini, terutama untuk menegakkan konstitusi sebagai salah satu kewajiban warga negara dan turut berjibaku dalam pemberantasan korupsi, sebagai warga bangsa yang bermoral dan peduli bangsa. Untuk itu, MK, MPR, KPK, dan UGM sebagai elemen bangsa yang berkait langsung dengan ikhtiar penegakan konstitusi dan pemberantasan korupsi, merasa perlu untuk memberikan pandangan dan pemikiran dari perspektif masing-masing mengenai hal tersebut. Lembaga-lembaga tersebut sangat berkepentingan untuk menberikan pesan teladan, himbauan, serat mengajak seluruh warga negara, dalam hal ini generasi muda, untuk bersama-sama mengukir jejak integritas pada peran dan posisi masing-masing, sebagai bukti kontribusi dalam penegakan konstitusi dan pemberantasan korupsi.
Sebagai rangkaian kegiatan pada hari pertama, digelar diskusi panel dan forum group discussion. MK bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menggelar Diskusi Panel dengan tajuk “Responsivitas Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Akselerasi Pembangunan Nasional”. Dalam kesempatan tersebut, hadir sebagai pembicara, di antaranya Ketua Pusat APHTN-HAN Moh. Mahfud MD, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, serta Dosen Ilmu Hukum Tata Negara UGM Andi Omara.
Hukum Menghambat
Dalam pemaparannya, Mahfud membuka forum dengan mengetengahkan isu mengenai keluhan Presiden Joko Widodo bahwa regulasi yang ada di Indonesia dinilai menghambat kinerja pemerintahan dalam membangun negara. Keluhan ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo ketika membuka Konferensi Hukum Tata Negara ke-6 yang berlangsung pada Senin, 2 September 2019 silam.
“Presiden mengeluhkan bahwa hukum menghambat. Mau berbuat ini salah secara hukum, mau berbuat ini tidak boleh oleh peraturan ini. Kemudian, pemerintah pusat sudah oke, pemerintah daerah tidak bisa. Lantas, bagaimana respon hukum tata negara dan hukum administrasi negara terhadap hal ini bagaimana Pemerintah bekerja cepat tanpa terbelenggu aturan hukum?” ungkap Mahfud.
Mahfud membenarkan adanya hambatan hukum tersebut yang menurutnya terjadi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mahfud mencontohkan ketika Alwi Shihab selaku utusan khusus untuk negara timur tengah dan OKI melakukan pertemuan dan mendapatkan investasi ratusan juta dollar. Kala itu, lanjutnya, SBY maupun Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden sudah menyetujui investasi tersebut. “Tapi begitu investasi diwujudkan dalam proyek, dibirokrasi dihambat dengan aturan. Bermasalah karena terbentur dengan aturan, semisal Keppres. Maka, benarlah keluhan presiden,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga membahas mengenai maraknya isu amendemen UUD 1945 dan wacana untuk kembali lagi kepada GBHN. Ia secara tersirat menolak mengenai usulan tersebut. Menurutnya, jika dikatakan mengenai haluan negara, Indonesia masih memiliki Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mengenai Perencanaan Pembangunan Nasional. “UU ini merupakan buku satu dan buku dua GBHN yang dulu. Sementara UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJM menjadi buku 3, 4, dan 5 GBHN. Jadi secara substansi kita memiliki undang-undang itu yang sebenarnya kalau disatukan menjadi GBHN di masa lalu,” paparnya.
Selain itu, Ketua MK periode 2008 – 2013 tersebut juga menegaskan hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak selalu sama. Ketika ia menjabat sebagai Ketua MK akan melanggar hukum demi mencapai keadilan. Karena adapula hukum yang adil, namun tidak bermanfaat, sehingga jika berhukum dengan hati yang jernih, maka semua akan baik-baik saja. “Karena saya ingin mencapai keadilan, maka undang-undang pun saya batalkan,” ucap Mahfud.
Ketertinggalan Regulasi
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebut hukum tata negara dan hukum administrasi negara merupakan hukum dasar yang harus tertanam kuat. Kelemahan sistem hukum ini berimplikasi pada sektor ekonomi. Ia mencontohkan dari laporan investasi banyak melaporkan bahwa Indonesia bermasalah dengan regulasi sehingga investor enggan menanamkan modal. Hal ini berdampak pada terhambatnya perekonomian negara.
Enny menjelaskan bahwa dari sisi regulasi, Indonesia tertinggal dari Malaysia. Malaysia sudah mengadaptasi British Regulatory Deliveratory Office milik Inggris. “Jadi, dia mereplika seperti itu sehingga tidak ada kegalauan yang dialami presiden untuk menggenjot ekonomi tanpa takut batasan hukum,” ujarnya.
Menurut Enny, Inggris tidak mudah mengeluarkan regulasi. Regulasi yang keluar pun harus melewati uji biaya dan manfaat. Sementara di Indonesia, lanjutnya, tidak berlaku hal tersebut. “Seharusnya dilihat siapa yang diuntungkan, apa kerugiannya, dan lainnya dalam mengeluarkan sebuah regulasi,” ujarnya.
Hukum dan Teknologi
Selanjutnya, Sekjen MK M. Guntur Hamzah menyampaikan materi mengenai “Pembangunan Hukum di Era Revolusi Industri 4.0”. Ia menyampaikan hal ini sesuai dengan teori dari L.A Gelhoed mengenai empowering state, yakni upaya peningkatan dan pemberdayaan masyarakat oleh good governance. “Negara punya kewajiban menyejahterakan rakyatnya, namun masyarakat juga mengambil alih langsung menyejahterakan dirinya,” ujarnya.
Dalam era revolusi industry 4.0, menurut Guntur, diperlukan adanya hukum menyiapkan mekanisme yang membuat masyarakat melakukan aktivitasnya. Era ini mewajibkan negara untuk menyiapkan mekanisme bagi masyarakat untuk melakukan mekanisme dengan baik.
Dalam kegiatan FGD tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengalihkan jabatannya sebagai Ketua APHTN-HAN Daerah DI Yogyakarta kepada Dosen FH UGM Andi Omara. Pengalihan ini seiring dengan jabatan hakim konstitusi yang diemban Enny.
Sedangkan dalam kegiatan diskusi panel hadir sejumlah narasumber, di antaranya Anggota Dewan Etik Konstitusi Ahmad Syafi'i Ma'arif, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UII Ni'matul Huda, serta Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto. Selain diskusi panel dan FGD, Festival Konstitusi dan Antikorupsi 2019 juga berisi kegiatan pameran dan temuwicara (talkshow). Temuwicara bertajuk “Ukirkan Jejak integritasmu! Wujudkan Sadar Konstitusi dan Budaya Antikorupsi” akan diisi oleh Ketua MK Anwar Usman, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua KPK Agus Rahardjo, dan Rektor UGM Panut Mulyono. Kegiatan tersebut akan digelar di Grha Sabha Pramana UGM pada Rabu, 11 September 2019 pukul 08.30 – 12.00 WIB. (Lulu Anjarsari)