YOGYAKARTA, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) masa jabatan 2008 - 2013 Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo mengeluhkan mengenai hukum di Indonesia yang menghalangi kinerja Pemerintah. Hal ini disampaikan dalam rangkaian acara Festival Konstitusi dan Antikorupsi, Mahkamah Konstitusi bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) menggelar Forum Group Discussion (FGD) yang mengangkat tema “Responsivitas Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Akselerasi Pembangunan Nasional” pada Selasa (10/9/2019) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dalam diskusi panel yang dihadiri oleh pengajar HTN-HAN, Mahfud menjelaskan dalam pembukaan Konferensi Hukum Tata Negara ke-6, Presiden Joko Widodo menyebut hukum bisa menjadi penghambat kinerja Pemerintah. Hal ini, menurutnya, terjadi bukan hanya pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun juga era pemerintahan SBY. Pada era SBY, lanjutnya, Pemerintah pernah membatalkan 3.145 perda karena dinilai menghambat kinerja Pemerintah. Keputusan Pemerintah membatalkan tersebut berakibat adanya pengujian undang-undang terkait kewenangan Pemerintah dalam membatalkan perda ke MK.
“Pada waktu itu, MK memutus bahwa Pemerintah tidak boleh membatalkan. Ini persoalan yang perlu kita bahas. Bisakah kita membuat aturan HTN dan HAN yang memperlancar tugas Pemerintah, namun tetap berada dalam koridor hukum?” ujar Mahfud.
Selain itu, Mahfud mengajukan pertanyaan terkait isu tersebut terkait hal itu, hukum yang harus diubah atau penafsiran yang diubah. Apalagi, lanjutnya, sekarang ada usulan amendemen agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara dan kembali pada GBHN. Menurut Mahfud, sebenarnya berlakunya UU Nomor 17 Tahun 2014 secara substansi sama dengan GBHN. Ketiadaan GBHN telah tergantikan dengan adanya undang-undang. “Jadi sebenarnya kita sudah punya pengganti GBHN. Kenapa kita mau mundur lagi dengan adanya GBHN?” tukasnya.
Menurut Mahfud, usulan tersebut terjadi diakibatkan dengan tidak konsistennya masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan jika UUD 1945 diubah, namun besoknya pasti akan ada usul untuk mengubah lagi. “Contohnya lagi, UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945, pada Oktober 1945 sudah ada ide untuk diubah karena dianggap fasis dari Jepang,” ujarnya.
Terkait dengan anggapan Presiden mengenai hukum menghambat, Mahfud menegaskan bahwa hukum tidak ada yang berniat untuk membelenggu. Tapi memang ada hukum memiliki sifat keadilan dan kemanfaatan. “Aturan hukum kita sebenarnya tidak ada niat menghambat. Hukum, keadilan dan kemanfaatan tidak selalu sama. Karena ada hukum yang tidak adil. Namun ada pula hukum yang tidak bermanfaat,” jelasnya. (Lulu A./Panji)