SENTUL, HUMAS MKRI – Hakim Konsitusi Manahan MP Sitompul hadir sebagai narasumber dalam Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Bagi Pengurus dan Anggota Organisasi Buruh/Serikat Pekerja pada Rabu (4/9/2019) di Sentul, Bogor. Dia menyajikan materi “Memahami Aspek-Aspek Penting dalam Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945”.
Manahan menyebutkan ada empat kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Pertama, menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Hampir tiap tahun ada sekitar 200 permohonan pengujian undang-undang yang diajukan ke MKRI.
“Kalau seseorang melakukan pengujian undang-undang disebut permohonan, bukan gugatan. Kenapa disebut permohonan? Karena dalam pengujian undang-undang tidak ada pihak tergugat, tidak ada lawan. Pengujian undang-undang di MK memang tidak ada lawan. Karena yang dipermasalahkannya adalah norma undang-undang,” ujar Manahan.
MKRI juga menguji sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. “Permohonan ini jarang ditangani MK. Hanya sedikit,” kata Manahan. Kewenangan berikut MKRI adalah memutus pembubaran parpol. “Namun untuk pembubaran organisasi kemasyarakatan nonparpol diajukannya bukan ke MK tapi ke kementerian,” jelas Manahan.
Selain itu ada wewenang MKRI memutus perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif. Sedangkan kewajiban MKRI memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Makna Konstitusi
Narasumber berikut, hadir Hamdan Zoelva yang pernah menjabat sebagai Ketua MK. Hamdan membahas makna Konstitusi. Dia menerangkan, Undang-Undang Dasar 1945 adalah teks otoritatif dari Konstitusi. Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan praktik kenegaraan yang biasa disebut konvensi. Sedangkan Konstitusi jauh lebih luas maknanya, menyangkut struktur bernegara sampai di tingkat paling bawah. Bahkan termasuk peraturan pemerintah berkaitan dengan struktur dan kelembagaan negara.
“Konstitusi adalah kristalisasi dari kehendak rakyat yang didopsi dalam teks tertulis atau dipraktikkan secara terus-menerus. Konstitusi dari setiap negara tidak harus sama. Kita tidak boleh mencontoh Konstitusi negara lain untuk kehidupan kebangsaan kita,” ujar Hamdan yang menampilkan materi “Perkembangan Dinamika Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”.
Dikatakan Hamdan, Konstitusi selalu bersifat domestik. “Kalau Anda ingin belajar Konstitusi Indonesia, tidak usah pergi jauh-jauh, cukup belajar di Indonesia. Karena kita yang paling paham tentang Konstitusi Indonesia,” kata Hamdan.
Hamdan melanjutkan, Konstitusi adalah cerminan budaya dari bangsa yang bersangkutan, cerminan cara kehidupan dari bangsa yang bersangkutan. “Walaupun bukan berarti kita sama sekali anti untuk melihat bagaimana Konstitusi negara-negara lain. Tapi itu hanya sekadar perbandingan. Nafas dan jiwa dari Konstitusi harus sesuai dengan jiwa dan akar budaya serta kehendak rakyat yang paling dalam,” jelas Hamdan.
Secara garis besar, lanjut Hamdan, Konstitusi merupakan a charter of government yaitu sebuah kesepakatan tertinggi tentang tujuan bernegara dan bagaimana negara itu dijalankan. Oleh karena Konstitusi merupakan hukum tertinggi, maka proses perubahan Konstitusi lebih rumit, abstrak serta berlaku jangka panjang.
Implementasi Pancasila
Sementara itu narasumber lainnya, Dekan Fakultas Filsafat UGM Arqom Kuswanjono menampilkan materi “Reaktualisasi Implementasi Pancasila”. Dijelaskan Arqom, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa bertujuan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bijaksana. “Pancasila menciptakan manusia yang utuh: religius, humanis, nasionalis, demokratis dan adil,” kata Arqom.
Di samping itu, ungkap Arqom, Pancasila merupakan pandangan hidup. Dalam arti, Pancasila sebagai mind set dalam kehidupan. Pancasila juga sebagai pemikiran kritis, artinya Pancasila sebagai perspektif dalam melihat dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Lainnya, sambung Arqom, Pancasila sebagai landasan dan sumber hukum formil norma dasar yang menentukan bentuk negara, sistem pemerintahan, peraturan perundang-undangan, peraturan tentang social politik dan sebagainya.
Hubungan Kekuasaan
Berikutnya, ada narasumber Dosen Hukum Tata Negara Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi dengan materi “Sistem Penyelenggaraan Negara Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Redi antara lain menjelaskan Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu The Spirit of Laws (1748). Bahwa Bila kekuasaan legislatif dan eksekutif dipegang oleh satu orang atau oleh sebuah badan, maka tidak akan ada kebebasan. Warga negara khawatir jika raja atau senat yang membuat UU, akan terjadi tirani kekuasaan
“Jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, hakim akan bertindak sewenangwenang. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif maka hakim bisa menjadi penindas,” ucap Redi.
Lainnya, dia menerangkan hubungan kekuasaan di Indonesia. Ada hubungan yang bersifat horizontal yakni hubungan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Contoh di Indonesia, hubungan antara MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, BPK adalah horizontal. Hubungan horizontal antara pemegang kekuasaan negara dapat melahirkan berbagai sistem pemerintahan, baik parlementer maupun presidensial.
Sedangkan hubungan yang bersifat vertikal adalah hubungan yang bersifat atasan dan bawahan, dalam arti antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di dalamnya terdapat semacam pembagian kerja antara pusat dan daerah. Contoh di Indonesia, Presiden membawahi Menteri, Gubernur, Bupati.
Hak Konstitusional
Berikutnya, hadir narasumber A. Irmanputra Sidin pakar hukum tata negara dengan materi “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD NRI Tahun 1945”. Irman menyinggung masalah Konsepsi tentang Hak Konstitusional dan Hak Warga Negara Menurut UUD 1945. Misalnya mengenai istilah hak konstitusional yang merupakan hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 51 UU 24 Tahun 2003 tentang MK. Ada pula hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, mencakup hak asasi manusia (human rights) dan hak warga negara (citizen’s rights) diatur dalam BAB X, Pasal 27.
Menurut Irman, hak-hak konstitusional yang dijamin oleh negara bukan saja yang tercantum secara tegas dalam UUD 1945, melainkan yang secara implisit yang kemudian ditegaskan melalui Putusan MK. Contoh, penegasan terhadap hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote & right to be candidate) melalui Putusan MK No. 011- 017/PUU-I/2003.
Dalam sesi tanya jawab, Irman menanggapi soal korporasi di Indonesia. “Batas antara korporasi dengan negara semakin hari semakin tipis. Pertarungan sesungguhnya di negara ini bukan pertarungan politik, tapi pertarungan korporasi,” jelas Irman.
“Apalagi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup banyak dikuasai oleh negara. Bayangkan nilai sumber daya alam serta cabang produksi yang penting bagi negara itu jutaan triliun. APBN kita hanya 2.000 triliun. Kecil dibanding dengan kekayaan alam yang diperebutkan banyak orang. Maka negara inilah yang menjadi target utama bagi korporasi,” ucap Irman. (Nano Tresna Arfana/LA)