JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-16 pada 13 Agustus 2019 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan 25 buku bertema hukum dan konstitusi yang diluncurkan dalam acara “Peluncuran dan Bedah Buku Mahkamah Konstitusi RI” yang diadakan pada Rabu (28/8/2019). Dalam pembukaan acara ini, Ketua MK Anwar Usman menyampaikan bahwa tiap Agustus selain diketahui sebagai bulan kemerdekaan Indonesia, juga terdapat satu momentum penting bagi keluarga besar Mahkamah Konstitusi, yakni hari lahir MK yang dirayakan tiap 13 Agustus. Pada 13 Agustus tahun ini, Mahkamah Konstitusi telah berusia 16 tahun.
Pada dua minggu lalu, sambung Anwar, bertepatan dengan lomba debat nasional mahasiswa ke XII, MK menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia untuk 3 kategori, salah satunya proses peradilan paling transparan yang dalam sistem peradilannya telah memanfaatkan teknologi informasi, seperti persidangan yang disiarkan secara live streaming, penjadwalan yang selalu di-update via laman MK, serta pemuatan putusan pada laman MK pasca-pembacaan putusan selesai dilaksanakan.
“Kesemua itu merupakan bentuk transparansi yang selalu dipraktikkan serta dikembangkan sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja MK kepada masyarakat. Dan semua capaian MK itu dan berbagai capaian lainnya, tentulah merupakan hasil kerja bersama seluruh keluarga besar Mahkamah Konstitusi tanpa kecuali,” urai Anwar di hadapan acara yang turut dihadiri Wakil Ketua MK Aswanto bersama dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, Manahan M.P. Sitompul, dan Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, Kepanietraan MK Muhiddin, dan Ketua KPU Arief Budiman.
Oleh karena itu, lanjut Anwar, di hari lahir MK ke-16 ini banyak hal yang patut disyukuri. Bahkan, rasa syukur tersebut menjadi bertambah luar biasa karena adanya persembahan berupa 25 buah buku yang ditulis mulai dari hakim konstitusi, sekretaris jenderal, hingga pegawai MK dengan judul dan topik yang berbeda-beda. Plus satu tambahan buku dari Prof. Jimly Asshidiqie dan yang berkenan hadir untuk menyampaikan Pidato Kunci pada peluncuran buku hari ini.
Mengawal Budaya Baca Tulis
Dalam acara yang digelar di Aula MK ini, hadir sebagai Keynote Speaker, Ketua MK Periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie dengan ceramah berjudul “Budaya Baca-Tulis Dunia Kehakiman untuk Mewujudkan Keadilan dan Kebenaran Konstitusional Berdasarkan Pancasila”. Melalui ceramahnya, Jimly melihat bahwa MK dalam perjalanannya dapat disebut sebagai Kampus Konstitusi Republik Indonesia. Karena, sambung Jimly, sejak MK berdiri hakim-hakimnya telah melahirkan banyak buku terutama pada masa 5 tahun pertama keberadaan lembaga peradilan ini. Untuk itu, agar tradisi menulis yang telah dibudayakan para hakim terdahulu tersebut makin berperan penting, maka budaya tulis baca ini dapat terus ditularkan juga pada lingkungan MK dan bagi cabang lembaga peradilan lainnya.
Pada masa-masa awal mengawal budaya baca tulis ini, jelas Jimly, setiap hakim wajib menuliskan pendapat dan pertimbangan hukum secara tertulis. Hal ini dilakukan agar setiap hakim selalu bergiat menulis, meskipun dalam praktinya mulai banyak tafsir bahwa setiap hakin wajib menulis dan/atau menyampaikan pendapat dan pertimbangan hukumnya.
“Padahal yang kita ketahui ciri peradaban maju itu dapat dilihat dari budaya menulisnya. Dan satu hal lagi adalah harus ada perdebatan karena keadilan itu harus diperdebatkan dan bagi hakim itu boleh. Sebab, keadilan itu harus diperoleh dari pemikiran dan perdebatan oleh 9 cara berpikir hakim konstitusi yang ada di lembaga ini,” jelas Jimly di hadapan acara yang turut dihadiri Ketua MK Anwar Usman, Wakil Ketua MK Aswanto, dan hakim konstitusi lainnya serta jajaran pejabat struktural Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK.
Melalui penerbitan 25 buku pada hari ini, jelas Jimly, jelas sekali bahwa buku adalah rekam kehidupan dan dapat dijadikan sebagai referensi kehidupan. Ia berpesan, agar seluruh jajaran peneliti dan panitera pengganti serta segenap pegawai MK untuk mengakrabkan diri dengan buku teks dan konteks. Buku teks berarti buku-buku yang bertema konstitusi, sedangkan konteks bermakna kehidupan hukum dalam lingkup internal dan eksternal MK. “Sehingga diharapkan ke depannya, pandangan MK akan lebih kaya dan semakin kuat dalam setiap pertimbangan hukum perkaranya,” terang Jimly di hadapan tamu yang hadir.
Ide Penerbitan
Sementara itu, dalam sesi Bedah Buku yang dipandu Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini hadir pemateri, yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Ketua MK Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva, dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo. Dalam kisahnya, Saldi bercerita bahwa ide menerbitkan buku-buku ini berawal dari pikiran sederhana di penghujung 2018 untuk memberikan hadiah bagi saat 2019 di tengah pesta pemilu serentak Indonesia.
“Maka dengan melihat lulusan terbaik kampus-kampus hukum yang ada di MK, maka kami menargetkan 16 buku di mana hakim hanya bagian turut serta. Maka, kami selalu bilang naskah kami telah selesai agar para peneliti dan PP ini terdorong pula untuk menyelesaikan naskah-naskahnya,” cerita Saldi yang bersama Khairul Fahmi menulis buku “Pemilihan Umum Demokratis, Prinsip-Prinsip dalam Konstitusi Indonesia”
Ditanya Titi selaku moderator bedah buku terkait isi buku, Saldi menguraikan bahwa dalam buku karyanya ini terdapat potret awal Pemilu 1955 hingga Pemilu 2019 yang menggambarkan abstraksi dari jalannya demokrasi di Indonesia. Menurut pandangan Saldi, demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan benar karena Indonesia selalu konsisten pada pelaksanaan asas pemilunya.
Tradisi Akademik
Hadir sebagai pembedah buku, Ketua MK Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva menyampaikan bahwa buku-buku yang diterbitkan MK pada hari ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa bagi MK karena yang menulis bukan hanya hakim, tetapi juga peneliti dan panitera pengganti MK dengan menulis dengan pendekatan akademik. “Jadi, ini sebuah kemajuan luar biasa,” jelas Hamdan.
Dulu, kisah Hamdan, MK bercita-cita sebagai pengawal konstitusi yang dalam fungsi dan putusannya mengembangkan sikap progresif dan konservatif. Tradisi ini harus terus bertumbuh kembang dan penting dibangun dalam tradisi MK. Terkait dengan kuatnya nilai akademik di lingkungan MK, Hamdan berpendapat bahwa berdasarkan pengalamannya tradisi akademik di MK ini telah dimulai sejak lama ketika hakin harus menuliskan opini secara tertulis meskipun hal ini bukan hal yang mudah. “Tapi kami mentradisikan ini, termasuk juga tiap tes peneliti kami buat tradisi beropini dan dasar intelektualnya harus terlihat kuat dalam memandang perkara dari putusan-putusan MK,” sampai Hamdan.
Menulis dari Dalam
Pada kesempatan yang sama, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo menilai bahwa sebagai lembaga yang merupakan anak kandung reformasi, keberadan MK di mata media bahwa MK adalah lembaga yang mampu menjaga dinamika dan wilayah demokrasi di Indonesia. Dengan terbitnya 25 buku ini, MK berhasil menjadi pioner yang telah mengamalkan dan membuat tradisi menulis bagi pegawainya berjalan baik.
Menurut Budiman, buku-buku yang ditulis oleh peneliti dan panitera pengganti MK ini juga merupakan suatu bentuk refleksi yang positif. Namun, terang Budiman, MK perlu melihat bagaimana publik melihat sosok MK. “Karena pandangan saya sebagai wartawan, cermin yang lebih ideal adalah bagaimana publik melihat lembaga ini. Jadi, MK tak hanya menulis dari dalam lembaganya, tetapi juga membuat dirinya dapat dilihat oleh publik dengan menulis dari luar,” sampai Budiman.
Terkait dengan eksistensi MK sebagai lembaga produk reformasi yang dinilai mampu bertahan dibandingkan dengan lembaga lain dari produk amendemen konstitusi, tidak lain karena MK mempunya 4M, yaitu man, moment, media, dan money. Bahwa MK memiliki hakim-hakimnya pada masa awal yang sukses membangun pondasi MK. Selanjutnya MK mendapatkan momentumnya setelah jatuhnya Orde Baru karena dulunya tidak pernah terbayangkann rakyat biasa dapat memperjuangkan hak konstitusionalnya dan itu akhirnya disalurkan MK. Berikutnya adalah media. Tanpa media dan bukti, hal yang dikerjakan MK tidak akan didengar diketahui publik. Hal terakhir adalah money, bahwa tidak mungkin sebuah organisasi berjalan dengan baik tanpa adanya uang.
“Dan sekarang pun MK juga membuat eksis dirinya dengan budaya bacanya. Untuk itu, ke depannya MK dapat menggunakan ragm bahasa yang mudah dipahami untuk mendongkrak daya baca,” ujar Budiman.
Untuk itu, Budiman berharap di masa mendatang MK melalui tulisannya dapat pula dibuat dengan bahasa yang mudah dicerna milenial agar dapat menjadi asupan bagi penggiat ilmu hukum dan peminat masalah konstitusi.
Pada kesempatan ini juga diselenggarakan penyerahan buku secara simbolis oleh Ketua MK Anwar Usman kepada Ketua MK Periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie, Ketua MK Periode 2013-2015 Hamdan Zoelva, Ketua KPU Arief Budiman. (Sri Pujianti/LA)