JAKARTA, HUMAS MKRI - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Alia Harumdani Widjaja menerima rombongan SMA International Islamic High School (IIHS), Jakarta yang berkunjung ke MK pada Selasa (20/8/2019) siang. Dalam pertemuan itu, Alia mengajak para siswa untuk langsung sharing di sela-sela penyampaian materi.
“Kalau MK itu sendiri apa sih sebenarnya?” tanya Alia kepada para siswa. Berbagai jawaban terlontar secara spontan dari beberapa siswa. Ada yang mengatakan MK adalah lembaga hukum, MK adalah konstitusi, MK adalah pengadilan dan sebagainya.
Alia kemudian menerangkan pengertian Mahkamah sebagai pengadilan, dalam bahasa Arab disebut “Al-Mahkamah”. Sedangkan Konstitusi adalah hukum dasar. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tata negara yang berlandaskan konstitusi.
“Lalu apakah ada bedanya antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang sama-sama sebagai cabang kekuasaan yudikatif?” tanya Alia yang didampingi Dina Muthia, Guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SMA IIHS.
Kembali para siswa memberikan beragam jawaban. Hingga akhirnya Alia menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) merupakan cabang kekuasaan yudikatif. MK berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan MA berwenang menguji peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Lebih lanjut Alia menerangkan terbentuknya MK di Indonesia berawal dari tuntutan reformasi pada 1998 yang antara lain meminta amendemen UUD 1945. Latar belakang dilakukan amendemen UUD 1945, karena dulu UUD 1945 menyebutkan kekuasaan tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau adanya supremasi parlemen. Setelah dilakukan amendemen UUD 1945, kekuasaan tertinggi bukan lagi pada MPR tapi berada di tangan rakyat.
“Tuntutan amendemen UUD 1945 juga disebabkan tidak dibatasinya masa jabatan Presiden yang terus menerus dapat dipilih kembali. Termasuk juga adanya pasal-pasal dalam UUD 1945 yang terlalu luwes sehingga dapat menyebabkan multitafsir,” urai Alia.
Setelah amendemen UUD 1945, ungkap Alia, pasal-pasal dalam UUD 1945 semakin bertambah, terutama untuk Bab Hak Asasi Manusia. Kesepakatannya, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mempertegas Sistem Presidensil dan sebagainya. Ide agar dibentuk MK di Indonesia terlontar saat amendemen ketiga UUD 1945 pada 2001.
Singkat kata, MK Republik Indonesia dibentuk pada 13 Agustus 2003 dengan memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan pertama MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. “Jadi kalau ada substansi atau muatan dari Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, boleh diajukan ke MK,” jelas Alia.
Kewenangan kedua MK, lanjut Alia, adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kewenangan ketiga MK adalah memutus pembubaran parpol. Selain itu MK berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
“Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar,” ucap Alia yang juga memaparkan sembilan Hakim Konstitusi yang berasal dari tiga unsur yakni Presiden, DPR dan Mahkamah Agung. (Nano Tresna Arfana/NRA)