Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan "warning" serupa. Pemerintah dan DPR bergeming.
Layaknya ritual rutin tahunan, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) selalu menggugat Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Paling tidak dalam tiga tahun terakhir. Yang dipersoalkan adalah belum terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20 persen sesuai amanat konstitusi. Terakhir, persatuan para guru ini mengajukan judicial review Undang-Undang No. 45 Tahun 2007, yang mengatur APBN 2008.
Kalau dalam permohonan sebelumnya PGRI hanya menggugat pasal-pasal yang mengatur anggaran pendidikan, kali ini jauh lebih luas. PGRI minta agar Mahkamah menyatakan seluruh isi UU APBN 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Perubahan sikap itu bukan tanpa dasar. Bachtiar Sitanggang, pengacara PGRI, menjelaskan bahwa sebelumnya Mahkamah Konstitusi sudah memberikan "warning" serupa. Jika Pemerintah dan DPR tetap tak memenuhi ketentuan minimal anggaran pendidikan, maka seluruh materi UU APBN akan "dimentahkan".
Bachtiar lantas merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 026/PUU-IV/2006. Dalam putusan itulah, kata Bachtiar, "warning" dari Mahkamah tercantum. Jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah belum juga memenuhi anggaran pendidikan sesuai amanat UUD 45 maka keseluruhan APBN juga ikut dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. âMakanya kita minta APBN 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,â tegasnya di MK, Rabu (9/4)
Penjelasan Bachtiar ini, ditujukan sebagai jawaban dari pertanyaan hakim konstitusi pada sidang sebelumnya. Hakim Konstitusi Laica Marzuki mempertanyakan langkah pemohon yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. PGRI tetap keukeuh dengan alasan yang diajukannya.
Bagaimana tidak, PGRI pernah melayangkan permohonan serupa dan dikabulkan Mahkamah. Tetapi Pemerintah dan DPR tetap tak memenuhi perintah konstitusi. Anggaran pendidikan dalam APBN belum sampai syarat minimal 20 persen.
Putusan MK terhadap UU APBN 2007
Oleh karena itu, mengingat sifat imperatif Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah sebagai pengawal konstitusi perlu mengingatkan agar anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN harus diprioritaskan dan diwujudkan dengan sungguh-sungguh, agar jangan sampai Mahkamah harus menyatakan keseluruhan APBN yang tercantum dalam UU APBN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat yang disebabkan oleh adanya bagian dari UU APBN, yaitu mengenai anggaran pendidikan, yang bertentangan dengan UUD 1945.
Hakim Konstitusi Harjono yang memimpin sidang pemeriksaan perbaikan permohonan ini justru meminta alasan pemohon yang merujuk pada salah satu putusan MK ini dimasukan ke dalam permohonan. Bachtiar mengaku belum memasukan alasan tersebut. Baru sebatas ucapan lisan di persidangan. Namun ia pun berjanji akan memasukannya ketika sidang memasuki tahap pembuktian.
RPH
Selain itu, dalam pandangan hakim, ada sedikit keganjilan dalam permohonan PGRI kali ini. Hakim Laica Marzuki kembali mengingatkan bahwa APBN Perubahan sampai saat ini masih dibahas. âOktober 2008 baru ada hasil,â ungkap Laica. Hal ini memang sudah berulang kali dia ungkapkan dan tak perlu dijawab. âApakah Anda yakin perkara ini akan selesai sebelum Oktober 2008?â tanyanya.
Menurut Laica, bila perkara ini belum selesai sebelum APBN Perubahan diketok, maka permohonan akan gugur. Permohonan akan kehilangan objek. Kuasa hukum lain, Andi M. Asrun tidak menafikan fakta yang disebut Laica. âKami ikuti perkembangannya, tapi anggaran pendidikan justru akan dipotong,â ungkapnya.
Andi justru enggan menghentikan permohonan ini. âPermohonan ini untuk dorongan bagi pemerintah dan DPR dalam merevisi UU APBN agar anggaran pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi,â jelasnya.
Sementara itu, Harjono menyerahkan sepenuhnya kepada pemohon. Ia menegaskan hukum acara MK tak mengatur penundaan perkara sampai APBN Perubahan disahkan. âTidak ada itu (penundaan perkara,-red). MK kan hanya menguji UU terhadap UUD 45. Sampai saat ini UU itu secara formil masih eksis,â jelasnya kepada hukumonline.
Namun, seperti biasanya, Harjono mengatakan akan membawa perkara ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Di sanalah nasib permohonan ini akan diputus. âIni masih pemeriksaan panel, nanti akan dilaporkan ke RPH,â ujarnya.
Pasal 11 ayat (5) Peraturan MK No 06/PMK/2005 memang menyatakan: Dalam hal pemeriksaan pendahuluam telah dilakukan oleh Panel Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim untuk proses selanjutnya.
(Ali)
Sumber www.hukumonline.com (09 April 2008)
Foto http://gerbang.jabar.go.id/kotasukabumi/index.php?idberita=50&index=16