JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan perkara Nomor 211-07-32/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 yang dimohonkan Partai Berkarya dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Provinsi Maluku Utara Tahun 2019 tidak dapat diterima. Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyatakan bahwa pada awalnya permohonan yang diajukan perseorangan dari partai politik atas nama Amal Saleh untuk Dapil Maluku Utara 1 ini tidak disertai dengan surat persetujuan dari Ketua Umum partai politik yang bersangkutan.
Namun kemudian dalam persidangan pemeriksaan pada 9 Juli 2019 dengan agenda mendengarkan kejelasan meteri dan konfirmasi dari para pihak yang berperkara, maka Pemohon menyatakan perkara a quo diajukan sebagai perkara perseorangan partai. Terkait hal ini, jelas Wahiduddin, Mahkamah memberikan kesempatan untuk melengkapi berkas tersebut selambat-lambatnya pada 15 Juli 2019.
“Pemohon pun akhirnya memenuhi surat tersebut pada 10 Juli 2019 sehingga Mahkamah menyatakan Pemohon memiliki kedudukan hukum,” ujar Wahiduddin dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Selanjutnya, Mahkamah melakukan pemeriksaan dan menemukan fakta-fakta dari permohonan Pemohon bahwa dalam Petitum pihaknya memuat Dapil Malut 1. Pada poin petitum berikutnya, Pemohon memohonkan perolehan suara Pemohon yang benar adalah 954 suara dan bukan 910 sehingga ada selisih 44 suara. Selain itu, berdasarkan perolehan suara pada 11 TPS di Kecamatan Sahu, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara seharusnya 27 suara dan bukan 21 suara.
Meskipun Pemohon telah memuat petitum dan menguraikan perolehan suaranya, namun terdapat perbedaan pokok permohonan dengan petitum yang dimaksud. Daerah pemilihan dalam pokok permohonan adalah pemilihan pada daerah DPRD Provinsi Maluku Utara, tetapi pada Petitum disebutkan pemilihan untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, Pemohon juga meminta Mahkamah menetapkan suara Pemohon untuk daerah Jailolo sebanyak 27 suara. “Menimbang berdasarkan fakta hukum tersebut antara posita dan petitum tersebut, Mahkamah tidak dapat mengungkap data yang sebenarnya. Maka dengan ini telah menjadikan permohonan kabur,” tukas Wahiduddin. (Sri Pujianti/LA)